Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk
sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan
sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Penggunaan kata muhrim untuk
mahram perlu dicermati.
Muhrim dalam bahasa Arab berarti orang yang
sedang mengerjakan ihram (haji atau umrah). Tetapi bahasa Indonesia menggunakan
kata muhrim dengan arti semakna dengan mahram (haram dinikahi). (KBBI, hal. 669
dan juga lihat hal.614)
Mahram Sebab Keturunan
Mahram
sebab keturunan ada tujuh. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para 'Ulama.
Allah berfirman; "Diharamkan atas kamu untuk (mengawini) (1)ibu-ibumu;
(2)anak-anakmu yang perempuan (3) saudara-sauda-ramu yang perempuan; (4)
saudara-saudara ayahmu yang perempuan; (5)saudara-saudara ibumu yang perempuan;
(6)anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; (7)anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan" (An Nisà'4/23)
Dari
ayat ini Jumhùrul 'Ulàmà', Imam 'Abù Hanifah, Imam Màlik dan Imam Ahmad bin
Hanbal memasukan anak dari perzinahan menjadi mahram, dengan berdalil pada
keumuman firman Allàh "anak-anakmu yang perempuan" (An Nisà'4/23). Diriwayatkan
dari Imam Asy Syàfi'iy, bahwa ia cenderung tidak menjadikan mahram (berati boleh
dinikahi) anak hasil zina, sebab ia bukan anak yang sah (dari bapak pelaku)
secara syari'at. Ia juga tidak termasuk dalam ayat:
"Allàh
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk)anak-anakmu. Yaitu:
bagian anak lelaki sama dengan dua bagian orang anak perempuan" (An
Nisà'/4:11).
Karena anak hasil zina tidak berhak menda-patkan warisan
menurut 'ijma' maka ia juga tidak termasuk dalam ayat ini. (Al Hàfizh 'Imàduddin
Ismà'il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510)
Mahram Sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuh. Sama seperti mahram sebab keturunan,
tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti)
oleh Al Hàfizh 'Imàduddin Ismà'il bin Katsir. (Tafsirul Qurànil Azhim 1/511).
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Darah susuan mengharamkan
seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan" (HR. Al Bukhàri dan
Muslim).
Al-Qur'àn menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab
susuan: "(1) Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu; (2)dan saudara-saudara
perem-puan sepersusuan" (An Nisà'/4:23).
Mahram Sebab
perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada tujuh.
"Dan ibu-ibu
istrimu (mertua)" (An Nisà'/4:23)
"Dan istri-istri anak kandungmu
(menantu)" (An Nisà'/4:23)
"Dan anak-anak istrimu yang dalam
pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri" (An Nisà'/4:23).
Menurut Jumh urul `Ulàmà' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi
jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari
seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun
si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi
oleh yang menikahi puteri itu.
"Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)". (An Nisà'/4:22).
Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad
nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
"Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara" (An Nisà'/4:23)
Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari
pihak ibu;
Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak
ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara
saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya dalam
perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan perempuan
dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak boleh saling
jadi madu.
Larangan menghimpun antara perempuan dengan bibinya dari
pihak ayah atau ibu berdasarkan hadits-hadits mutawàtirah dan 'ijmà`ul `ulàmà'.
( Muhammad bin Muhammad Asy Syaukàniy, Fathul Qadir 1/559).
Mahram
disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, selamanya, begitu pula sebab
pernikahan. Kecuali, menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan
dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, itu bila yang
satu meninggal lalu ganti nikah dengan yang lain, maka boleh, karena bukan
menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Dzun Nùrain, Utsmàn bin 'Affàn
menikahi Ummu Kultsùm setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Zina dengan seorang perempuan semoga
Allàh menjauhkan kita semua dari itu tidak menjadikan mahram anaknya ataupun
ibunya. Zina tidak mengharamkan yang halal.
Wanita yang bersuami
Allàh mengharamkan mengawini wanita yang masih bersuami."Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami" (An Nisà'/4:24).
Perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, halal dinikahkan.
"Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untk berzina" (An Nisà'/4:24). Wallàhu
'a`làm (Asri Ibnu Tsani)
Rujukan:
1.
Tafsirul Qur'anil Azhim, Ibnu Katsir.
2. Fathul Qadir, Asy-Syaukaniy
3.
KBBI.
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula