Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan
orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia
dan keterikatan jasad yang disyari'atkan.
Pernikahan artinya rumah yang
tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga
dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai
bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
artinya,
"Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah." (al-Furqan:54).
Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan
perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.
Pernikahan
adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong
keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya
dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan
keji.
Kita melihat bagaimana al-Qur'an membangkitkan pada diri
masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka
saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.
Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah
akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting
selalu membutuhkan akar." Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya,
"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan
daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya."
(al-A'raf:189).
Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang
dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya
sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah
menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam
firman-Nya, artinya,
"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi."(an-Nisa`:3)
Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan
suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala
hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan
tujuan akhir hidup dan lain-lain.
Di antara keagungan al-Qur'an dan
kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung
atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur'an, yaitu:
"Mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka."
(al-Baqarah:187)
Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah
Al-Qur'an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara
kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah
dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir." (ar-Rum:21)
Kecenderungan dan rasa tentram
suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang
bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi
kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat
tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap
nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan,
pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung
ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah
yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga
yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.
Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu
menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata
"Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak,
maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting;
Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan
hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.
Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:
Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna,
"Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (ar-Rum:21). Di
dalam ayat ini terdapat empat pendapat:
Pertama, bahwa arti Mawaddah
(rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa
sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti
Mawaddah adalah al-Jimâ' (hubungan badan) dan Rahmah adalah
al-Walad (anak).
Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang
besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil
(yang lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih
sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa
al-'Uyûn)
Ibn Katsir berkata, "Di antara tanda kebesaran-Nya yang
menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita
yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu
cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam
(manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka,
seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi
kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya
membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di
antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka
dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih
(mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi
seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya
hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam
hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain
sebagainya" (Tafsir Ibn Katsir)
Renungan ke Dua. Mari kita
renungi sejenak firman-Nya, "dari jenismu sendiri." Istri adalah manusia yang
mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan
laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca:
al-Baqarah:228).
Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter
dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat
rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya.
Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita
dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.
Renungan
ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan
bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat
mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam
suatu 'lembaga' yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di
dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu
melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam,
"Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin
bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
Kepemimpinan sudah
ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan
tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat
an-Nisâ`, ayat 34.
Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan
suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi
yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan
sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat
yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi
obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan
semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai
fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan
bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan
berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa
mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan
untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara
keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa
kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik
kesenangannya adalah wanita shalihah."
Renungan ke Enam.
Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam
hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat
terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tercinta, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap
Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat
dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat
kebaikan dan jasanya.
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan
rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah
dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada
ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.
Sumber:
Tsulâtsiyyah al-Hayâh az-Zawjiyyah: as-Sakan, al-Mawaddah, ar-Rahmah
karya Dr.Zaid bin Muhammad ar-Rummany. (Abu Hafshah)
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula