Sebuah fakta yang ada di depan mata kita,
banyaknya kaum muslimin sekarang yang meremehkan shalat terlebih shalat
berjamaah di masjid. Tidak ragu lagi bahwa fakta di atas merupakan kemungkaran
yang tidak boleh didiamkan dan diremehkan.
Sebagai seorang muslim kita pasti mengerti
tentang kedudukan shalat yang begitu tinggi dalam Islam. Betapa sering Alloh dan
RasulNya menyebut kata shalat, memerintah melaksanakannya secara tepat waktu dan
berjamaah, bahkan bermalas-malasan darinya merupakan salah satu tanda
kemunafikan.
Tanyakan pada hati kita masing-masing,
“pantaskah bagi seorannnng muslim meremehkan suatu perkara yang sangat
diagungkan oleh Robbnya, nabinya dan agamanya? Apa yang kita harapkan di dunia
ini? Bukankah surga yang penuh kenikmatan dan kelezatan yang kita harapkan? Dan
siapakah diantara kita yang mau meniru gaya hidup orang-ornag
munafiq?
Berikut ini pembahasan singkat tentang shalat
berjamaah sebai nasehat dan peringatan bagi saudara-saudara saya seagama. Semoga
Alloh menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ
الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. (QS.
Adz-Dzariyat: 55)
SYARIAT SHALAT BERJAMAAH
Shalat berjamaah bagi muslim laki-laki adalah
disyariatkan tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama. Imam Nawawi berkata,
“Shalat berjamaah diperintahkan berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan
masyhur serta ijma’ (kesepakatan)kaum muslimin. (Al Majmu’ 4/84)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata,
“Para ulama bersepakat bahwa shalat berjamaah termasuk amal ibadah dan syi’ar
Islam yang sangat agung. Barangsiapa yang beranggapan shalatnya yang sendirian
lebih utama dari pada berjamaah maka dia telah keliru dan tersetsat. Lebih
tersesat lagi jika beranggapan tidak ada shalat berjamaah kecuali dibelakang
imam yang ma’sum sehingga mereka menjadikan masjid sepi dari shalat berjamaah
yang diperintahkan Alloh dan RasulNya. Sebaliknya mekera meramaikan masjid
dengan kebid’ahan dan kesesatan yang dilarang Alloh dan RasulNya. (Majmu’ Fatawa
23/222 Al Fatawa Al kubro 2/267).
HUKUM SHALAT BERJAMAAH
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum
shalat berjamaah sehingga terpolar menjadi empat pendapat (sunnah mu’akkad,
fardhu kifayah, fardhu ain dan syarat sah) namun pendapat yang kuat –Wallohu
a’lam- pendapat ulama yang mengatakan fardhu ain dikarenakan dalil-dali yang
mereka paparkan begitu banyak dan kuat sekali[1] diantaranya:
Dalil Al Qur’an
Alloh berfirman,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ
طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا
مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ
طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا
مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ
تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً وَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ
بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَى أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ
اللهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang
senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah
menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
shalat, lalu shalatlah mereka denganmu ( QS. An Nisa’ 102)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas
bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ain bukan hanya sunnah atau fardhu
kifayah, Seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur
yang utama. Juga bukan fardhu kifayah karena Alloh menggugurkan kewajiban
berjamaah atas rombongan kedua dengan telah berjamaahnya rombongan pertama.
(Kitab Sholah hal. 138, Ibnu Qoyyim)
Al Alamah As- Sinqithi berkata dalam Adwaul
Bayan 1/216, “ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang wajibnya shalat
berjamaah.”
Alloh berfirman,
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam Ibnu katsir berkata dalam tafsirnya 1/162,
”Mayoritas ulama[2] berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya wajibnya shalat
berjamaah.
DALIL HADITS
Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah
bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku berkeinginan
untuk memerintahkan dengan kayu bakar lalu dibakar, kemudian aku memerintahkan
agar adzan dikumandangkan. Lalu aku juga memerintah seorang untuk mengimami
manusia, lalu aku berangkat kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat) dan
membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari 644 dan Muslim 651)
Imam Bukhari membuat bab hadits ini “Bab
Wajibnya Shalat Berjamaah”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “hadits ini secara
jelas menunjukkan bahwa shalat berjamaah fardhu ain, sebab jika hukumnya sunnah
maka tidak mungkin Rasulullah mengancam orang yang meninggalkannya dengan acaman
bakar seperti itu.” (Fathul Bari 2/125).
Ibnu Mudzir [3] juga mengatakan serupa, “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang
sangat jelas tentang wajibnya shalat berjamaah, sebab tidak mungkin Rasulullah
mengancam seorang yang meninggalkan suatu perkara sunnah yang bukan wajib.”
(Dinukil Ibnu Qoyyim dalam kitan Sholah hal. 136).
Ibnu Daqiq Al-I’ed berkata, “Para ulama yang
berpendapat fardhu ain berdalil dengan hadits ini, sebabb jika hukumnya fardhu
kifayah tentunya telah gugur dengan perbuatan Rasulullah dan para sahabat yang
bersamanya. Dan seandainya hukunya sunnah tentu pelanggarnya tidak dibunuh. Maka
jelaslah bahwa hukunya adalah fardhu ain. (ikamul Ahkam I/164)
Dari Abu Hurairah berkata, “Ada seorang buta
[4] datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada
seorang yang menuntunkuke masjid, adakah keringanan bagiku?” Jawab Nabi, “Ya.”
Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?”
Jawab orang itu, “Ya.” Kata Nabi selanjutnya, “kalau begitu penuhilah.” (HR .
Muslim 653)
Ibnu Qudamahberkata dalam Al-Mughni2/130,
“Kalau nabi saja tidak memberi keringanankepada orang buta yang tidak ada
penuntun baginya[5] maka selainya tentu lebih utama.”
Al-Khoththobi berkata dalam Ma’alim Sunnah
I/160-161, “Dalam hadits ini tekandung dalil bahwa menghadiri shalat berjamaah
adalah wajib. Seandainya hukumnya sunnah niscaya orang yang paling berhak
mendapatkan udzur adalah kaum lemah seperi Ibnu Ummi Maktum.”
PERKATAAN SAHABAT
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang
ingin berjumpa dengan Alloh besuk (hari kiamat) dalam keadaan muslim, maka
hendaknya dia menjaga shalat fardhu dan memenuhi panggilannya, karena hal itu
temasuk jalan-jalan petunjuk. Alloh telah mensyaratkan jalan-jalan petunjuk
kepada nabi kalian. Seandainya kalian shalat di rumah kalian masing-masing
sungguh kalian telah meninggalkan sunnah nabi kalian, niscaya kalian
tersesat.
Sungguh tak seorangpun yang berwudzu dengan
sempurna lalu pergi ke masjid kecuali Alloh akan menulis atas setiap langkahnya
satu kebaikan, mengangkat satu derajat dan menghapus satu dosa. Sungguh saya
berpendapat bahwa tidak ada yang meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali
orang munafik yang sangat nyata atau orang yang sakit. Sungguh ada seorang
diantara kami yang datang dengan dipapah oleh dua orang lalu didirikan di shaf
(Muslim: 654)
Ibnu Qoyyim menjelaskan, “Segi pendalilannya,
Ibnu Mas’ud menggolongkan orang yang meninggalkan jamaah dalam koridor
orang-orang munafiq yang nyata sedang tanda munafiq bukanlah dengan meninggalkan
perkara sunnah atau melakukan yang makruh.” (Kitab Sholah hal. 146)
Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari
sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abi Tholib, Abu Hurairah,
Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata, “inilah ucapan para sahabat –sebagaimana kamu
lihat- shohih, masyhur dan menyebar. Tak ada seorangpun dari sahabat yang
menyelisinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini
(wajibnya shalat berjamaah), lantas bagaimana kiranya apabila dalil tersebut
saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya?!!” (Kitab Sholah hal.
146)
Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari
sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abu Tholib, Abu Hurairah,
Aisyah, Ibnu Abbas, lalu berkata, “inilah ucapan para sahabat –sebagaimana
engkau lihat- shahih dan menyebar. Tak ada seorangpun dari sahabat yang
menyelisihinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini
(waibnya shalat berjamaah) lantas bagaimana kiranya jika dalil tersebut
menguatkan satu sama lainnya?! (Kitab Sholah hal. 153-154)
Walhasil shalat berjamaah hukumnya fardhu ain
[6] berdasarkan argumen-argumen yang telah kami ketengahkan sebagiannya
–dan masih banyak lagi lainnya-. Maka setelah jelas dalil-dalil tersebut diatas,
sungguh tidak pantas seseorang untuk mengburkan masalah ini dengan ucapan yang
sering kita dengar, “Masalah ini kan diperselisihkan para ulama, kenapa kita
mesti ngotot. Bukankah kita harus toleran dan berlapang dada dalam masalah
khilafiyah?! Kami katakan, “Kalimatul Haq urida biha
bathil (Ucapan benar tap dimaksudkan untuk kebatilan”
bukankah alasan di atas hanya untuk……………. Tahukah anda maksud mereka di balik
itu?! Sesungguhnya mereka hanya ingin lari dari shalat berjamaah dan merasa
sudah banyak pahala, tidakkah mereka membaca ayat Alloh,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh
dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An Nisa’: 59)
Yang perlu diketahui bahwasannya sekalipun para
ulama berselisih tentang hukum shalat berjamaah, tetapi mereka sepakat bahwa,
“Tidak ada rukhsah
(keringanan) dalam meninggalkan jama’ah, baik kita katakan sunnah atau
wajib/fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.” (Raudhah Tholibin
I/344 oleh Imam Nawawi).
HIKMAH SHALAT BERJAMAAH
Syariat Islam mengandung hikmah yang tinggi dan
menakjubkan, tidakada untaian kata yang dapat menerangkan dan akal yang bisa
mengunggulinya. Bila kita mengetahui hikmah dari sebuah syari’at tertentu, kita
akan semakinmantap sekalipun jika kita tidak mengetahuinya kita tetap wajib
mematuhinya.
Diantara hikmah disyariatkannya shalat
berjamaah;
1. Mengokohkan persaudaraan sesama
muslim
- Mereka saling mencintai antar sesama, karena kebersamaan dan berkumpulnya mereka di satu tempat, satu ibadah, satu imam.
- Mereka akan saling mengenal, betapa banyak perkenalan dan persahabatan yang terjalin di masjid.
- Mereka mempunyai perasaan sama dalam ibadah, tiada perbedaan antara si miskin dan si kaya, petinggi dan petani dan seterusnya.
- mereka saling membantu dan mengetahui keadaan saudaranya yang fakir atau sakit kemudian berusaha memenuhi dan meringankannya.
2. Menampakkan syiar Islam dan izzah kaum
muslimin. Karena syiar Islam yang paling utama adalah shalat. Seandainya kaum
muslimin shalat di rumahnya masing-masing, mungkinkah syiar Islam akan tampak?!
Sungguh dibalik keluar masuknya umat Islamke masjid terdapat izzah
(kemuliaan/kejayaan) yang sangat dibenci musuh-musuh Islam[7].
3. Kesempatan menimba ilmu. Betapa banyak orang
mendapat hidayah, ilmu dan cahaya lewat perantara shalat berjamaah.
4. Belajar disiplin (lihat syarh Mumti
4/135-137, Ibnu Utsaimin)
BEBERAPA MASALAH SEPUTAR SHALAT BERJAMAAH
A. Shalat berjamaah bagi wanita
Kaum wanita tidak wajib shalat berjamaah di
masjid dengan kesepakatan ulama (Mausu’ah Ijma 2/622). Namun mereka boleh
berjamaah di masjid dengan syarat tidak boleh bersolek/berdandan dan memakai
parfum. Shalat di rumah lebih baik bagi mereka. (Lihat “Shalat Berjamaah Bagi
Wanita “, Majalah AL FURQON Ed 6/II)
Dan disyari’atkan bagi sekumpulan wanita untuk
menunaikan shalat secara berjama’ah baik di rumah, ma’had dll dengan kesepakatan
ulama. (Al-Majmu 4/96 Nawawi. Al-Muhalla 3/171 Ibnu Hazm). Barangsiapa yang
menyelisihi ini maka pendapatnya tertolak. (I’lam Muwaqqi’in 3/357, Ibnu
Qoyyim).
Faedah: Posisi imam kaum wanita sesama mereka
adalah di tengah-tengah makmum shaf pertamasebagaimana praktekUmmul mukminin
Aisyah dan Ummu Salamah. (Lihat Al-Muhalla 3/171-172).
B. BERJAMAAH DI RUMAH?
Ketahuilah bahwa asal syariat shalat berjamaah
adalah di masjid, tidak boleh meninggalkan masjid tanpa udzur(Ihkam Ahkam 2/114,
Ibnu Daqiq). Ibnu Qoyyim berkata, “Barangsiapa yang mengkaji sunnah dengan
seksama, niscaya akan jelas baginya bahwa jamaah di masjid adalah fardhu ain
kecuali karena udzur, dengan demikian meninggalkan masjid tanpa udzur seperti
halnya meninggalkan jama’ah.” (Kitab Sholah, 166)
C. BATAS MINIMAL SHALAT BERJAMAAH
Batas minimalnya dua orang, semakin banyak
semakin utama. Hal ini merupakan kesepakatan ulama sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni 2/177 dan Ibnu hubairah dalam al Ifshah
I/155.
D. UDZUR TIDAK BERJAMAAH
“Tidak ada rukhsah
(keringanan) untuk meninggalkan jamaah, baik kita
katakan sunnah atau fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.”
(Raudhah Thalibin I/344 Nawawi).
Contoh udzur umum seperti hujan deras, baik
siang atau malam, angin kencang sekali dan udara dingin yang sangat. Para ulama
talah bersepakat tentang bolehnya. (Tharhu Tatsrib 2/317, Al-Iraqi)
Contoh udzur secara khusus seperti; sakit
parah, takut terhadap dirinya , harta dan kehormatannya. Hal ini tidak ada
perselisihan tentang bolehnya. ( Al-Mushanaf I/351). Contoh lainnya, menahan
berak/kencing, dan masih banyak lagi lainnya. Imam Suyuti berkata, “Udzur tidak
shalat berjamaah ada empat puluh jenis.” (Al-Asybah wa Nadhoir Hal.
439-440)
E. BOLEHKAH MENINGGALKAN JAMA’AH KARENA
KEMUNGKARAN MASJID/IMAM
Sebagian orang terkadang meninggalkan jamaah
dengan alasan karena masjid di kampungnya terdapat bid’ah seperti
sholawatan/dzikir jama’ah atau semisalnya, maka perlu diketahui bahwa alasan
tersebut tidak menghalangi shalat berjamaah. Lihat fatawa Lajnah Daimah
7/305)
Ada juga yang beralasan karena imam shalatnya
terjerumus dalam kemaksiatan, dosa dan bid’ah (yang tidakmengkafirkan), maka
inipun alasan yang tidak dibenarkan, bahkan sebagaimana kata Hasan Al-bashri
ketika ditanya tentang hukum shalat di belakang ahli bid’ah, beliau menjawab,
“Shalatlah dan dosa bid’ahnya dia yang menanggungnya.”
Tetapi jika ada masjid/imam yang utama maka itu
lebih utama.
F. BERJAMAAH DI BELAKANG TV/RADIO
Termasuk Kebid’ahan modern yang dimunculkan
orang-orang pemalas. Perbuatan ini jelas tidak boleh, baik bagi kaum pria maupun
wanita, ada udzur maupun tidak sebagaimana fatwa lajnah Daimahno. 2437 tangggal
25/5/1399
PENUTUP
Setelah kita mengetahui bersama hakekat hukum
shalat berjamaah, maka merupakan kewajiban bagi setiap untuk memperhatikan
masalah ini dengan baik dan bersegera merealisasikannya serta mendakwahkannya
kepada anak, keluarga, tetangga dan seluruh saudarnya sesama muslimin untuk
menjalankan perintah Alloh dan Rasulullah n/ dan menghindarkan diri dari sifat
kaum munafiqin yang telah disifati Alloh dengan sifat-sifat yang jelek ,
diantaranya adalah malas menjalankan shalat. Alloh berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
وَإِذَاقَامُوا إِلَى الصَّلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ
إِلاَّ قَلِيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di
hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali.(QS. An-Nisa’ 142)
Semoga Alloh memberi taufiq kepada kita semua.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 12/18).
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi
Artikel: http://abiubaidah.com/

Footnote:
[1] Lihat secara luas Kitab Sohlah oleh Ibnu Qoyyim, beliau t/ telah
memaparkan 13 dalil dengan pembahasan memuaskan sebagaimana biasanya.
[2] Sebagian ulama ada yang berpendapat abhwa ayat ini tidak
menunjukkan wajibnya shalat berjamaah, diantaranya Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
tafsirnya 1/157. Ajaibnya beliau menyelisihi kedua gurunya As-Sa’di dalam
tafsirnya I/59 dan Ibnu Baz dalam fatawanya 12/15. Ajaibnya lagi ketika penulis
mengadu masalah ini kepada tiga masayikh kami (murid-murid Ibnu Utsaimin) yaitu
Syaikh Abdur Rahman Ad-Dahsy, Syaikh Sami Ash-Shiggir dan Syaikh Khalid
Al-Muslih. Pertama menegaskan bisa dijadikan hujjah, kedua menegaskan tidak bisa
dijadikan hujjah ketiga mengatakan bisa tapi tidak secara jelas, namun hanya
isyarat!!!
[3] Berkata iImam Nawawi dalam Majmu 4/86, “Pendapat ketiga: Fardhu ain
tetapi bukan syrat sah shalat. Hal ini merupakan pendapat dua pakar madzhab
Syafi’i yang mapan dalam bidang fiqih dan hadits, yaitu Abu Bakar bin
Khuzaimah, dan Ibnu Mudzir.”
[4] Imam Nawawi berkata, “Maksud orang buta di sini adalah Ibnu Ummi
Maktum, sebagaimana ditafsurkan dalam riwayat Abu Dawud dan selainnya.” (Syarah
Musli 5/157)
[5] “Bahkan jalannya abnyak pohon dan bebatuab sebagaimana dalam
riwayat yang shahih. Apakah setelah ini dikatakan bahwa shalat berjamaah tidak
wajib?” (Lihat Tamamul Minnah hal. 275 oleh Al-Albani.
[6] Pendapat inilah yang dikuatkan oleh para ulama sunnah abad ini,
seperti Syaikh Ibnu Baz dalam fatawanya 12/14, Al Albani dalam Tamamul Minnah
hal 275 dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Mumti’ 4/133.
[7] Di bulan Ramadhan , di hari-hari shalat tarawih, dimana kaum
muslimin dan muslimat banyak berbondong-bondong ke masjid, sering kali hati
penulis trennyuh dengan pemandangan tersebut dan berandai-andai, “Aduhai
seandainya semua bulan seperti bulan Ramadhan.”
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula