Ketika Aswaja, Wahabi, NU dan Muhammadiyyah Bertemu Di Simpang Jalan (Opini)

Pada hari kamis yang lalu (17 September 2015) Pada rubrik Opini Penulis dikejutkan oleh dua tulisan yang kalau diibaratkan dalam bahasa aceh: Sidroe tarek sidroe tulak. Saudara Khairil Miswar (KM) mengajak umat islam di Aceh khususnya untuk bersatu dalam bingkai ukhwah, mengatakan kalau Aswaja dan Wahabi hanya berselisih pada masalah furuiyyah, seperti kutipan dalam tulisan beliau “Di akhir tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk kembali memperkuat ukhuwah islamiyah sesama kaum muslimin di Aceh”. 
Sedangkan saudara Hasanuddin Yusaf Adan (HYA) malah sebaliknya mengajak kepada peperangan, seperti tersebut dalam tulisan beliau” Tidak kalah pentingnya keuntungan pawai tersebut adalah bagi orang-orang yang jarang-jarang atau belum pernah ke Banda Aceh kali ini sudah punya kesempatan untuk melihat-lihat ibu kota Provinsi Aceh”. Atau seperti “Apalagi kalau pihak yang sudah banyak mengeluarkan uang tapi tidak terpilih, maka waktu itulah akan ada orang-orang yang sering berbahasa Belanda, berbahasa burung, berbahasa tupai dan sebagainya”. Ini jelas penghinaan dan provokasi yang mengajak kepada peperangan.

Sebelum mengetahui dan akhirnya berencana menyatukan kaum Aswaja dan Wahabi di Bumi Aceh khususnya dan luar aceh pada umunya, kita tentu harus tahu dulu siapa Wahabi dan siapa Aswaja. Aswaja atau Lebih dikenal dengan Ahlusunnah Waljamaah adalah satu mazhab yang dikembangkan oleh Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw (874 M- 936 M) dan Muhammad bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi (853 M-944 M). Sedangkan Mazhab Wahabi dinisbahkan kepada Imam besar mereka Muhammad Bin Abdul Wahhab (1701 M- 1793 M).
Pada tulisan Saudara Khairil Miswar (KM), Beliau menyebutkan kalau pada dasarnya mazhab tersebut adalah aliran politik yang berevolusi kepada aliran Teologi. Benarkah demikian? Apa yang saudara KM kemukakan masih perlu dipertanyakan disebabkan beberapa alasan. Pertama, Asya’irah adalah nama suatu pemahaman/itikad yang dinisbahkan kepada Abu Hasan Asy’ari, salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Kedua, karena lahirnya Asya’irah adalah bentuk ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang mendakwa sesat dan kafir kaum muslimin. Begitu juga aliran-aliran yang lain seperti Syiah, Mujassimah dan lain-lain, semuanya merupakan masalah teologi dan akidah yang punya efek penting dan berbahaya, karena menyangkut masalah keimanan. Jadi tidak benar kalau golongan-golongan tersebut adalah golongan politik, meski tidak menutup kemungkinan dalam perkembangannya harus “bermain” politik. 
Perbedaan vital wahabi dengan ahlussunnah waljamaah 
Ideologi Aswaja yang dikembangkan Imam Asy’ari bertolakbelakang dengan ideologi yang dicetuskan Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Sebagai bukti, Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Risalah Ahl al-Shuffah membagi Tauhid kepada tiga bagian, Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma Wa Sifat. Tauhid Rububiyyah adalah tauhid yang dimiliki oleh orang Muslim dan orang musyrik. Dalam tauhid ini mengandung tauhid al-Khaliqiyyah yaitu mengitikad Allah Swt sebagai Pencipta. Sedangkan Tauhid Uluhiyyah adalah tauhid dalam penyembahan bahwa hanya Allah Swt semata yang disembah dan tiada menyekutukan-Nya dengan apapun. Kemudian juga diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Kasyf al-Syubhat. Mereka berdua mendakwa bahwa semua umat beragama di dunia juga mengakui tauhid Rububiyah kepada Allah, mereka itu kafir hanya karena tidak memiliki tauhid uluhiyyah (menyembah selain Allah). Para Rasul tidak mengajak umatnya kepada tauhid Raububiyah karena tauhid tersebut telah ada pada diri mereka tetapi yang diajak oleh Rasul hanyalah untuk mengakui tauhid uluhiyah. 

Dakwaan ini jelas menyalahi al-quran, karena banyak dalil al-quran yang menunjukkan bahwa kaum musyrik itu menyekutukan sebagian sifat-sifat kekhususan Allah SWT dengan sesembahan mereka. Ibnu Hajar Al-haitami dalam kitabnya Fatawa Haditsiyah (h 85) menukil fatwa-fatwa nyeleneh Ibnu taimiyah seperti Nabi tidak maksum, Allah berjisim (berbentuk seperti manusia), berjihat (ada arah), berpindah-pindah , Neraka fana, dan Nabi Muhammad Saw tidak ada kehormatan dan tidak boleh bertawassul dengannya. 
Dalam hal ini, Muhammad bin Abdul Wahhab juga sama. Ia mengatakan bahwa orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh termasuk golongan orang musyrikin. Termasuk dalam perbuatan musyrik adalah memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama nabi-nabi, wali atau malaikat, misalnya menambahkan “sayyidina” di depan nama Muhammad saw, dikutip oleh A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam hal. 191. 
Semua fatwa-fatwa di atas mendapat penolakan keras dari ulama Aswaja karena tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah. Mengutip tulisan KM, masihkah kita berani mengatakan kalau perbedaan Aswaja dan Wahabi hanya pada masalah Furuiyyah? 
Kemudian Saudara KM mengatakan kalau Wahabi bermazhab Hambali, namun dalam prakteknya mereka malah mengharamkan tawassul, menghancurkan kuburan Nabi-nabi, sahabat dan keluarga Rasulullah. Padahal tidak ada satu pun ulama Mazhab yang melarang tawassul. 

Dengan demikian, jelaslah Wahabi tidak terikat dengan Mazhab apapun, jika tidak, mereka tidak akan mengkafirkan orang yang bertawassul. Apakah mengkafirkan seseorang masih bisa dikategorikan kepada Furuiyyah? Alasan mereka tidak terikat dalam satu Mazhab karena memang mereka cuma mengambil yang mudah saja dalam Mazhab tertentu, seandainya susah maka akan ditinggalkan. Hal ini dibolehkan selama tidak Talfiq dan Tatabu’ Rukhas (mengambil yang ringan pada masalah agama dalam satu Mazhab dan mencampurnya dengan yang mudah pada Mazhab lain). Dalam kesehariannya, Talfiq dan Tatabu’ Rukhas inilah yang mereka praktekkan. 
Nu, Muhammadiyah, Aswaja dan Wahabi
Dalam paragraf ke 17, saudara KM menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan Wahabi. Benar memang Muhammadiyah dan Wahabi berbeda, karena Wahabi adalah Firqah atau golongan pada masalah Teologi yang berlawanan dengan Aswaja. Sedangkan Muhammadiyyah adalah organisasi yang digagas oleh K.H Ahmad Dahlan, sebagaimana Nu yang digagas oleh K.H Hasyim Asy’ari. Bedanya, semenjak didirikan sampai sekarang, ideologi NU tidak pernah lekang dari ahlussunnah wal jamaah. Berbeda dengan Muhammadiyah yang lebih bersifat majemuk dalam mengikuti mazhab.
Terakhir, KM mengajak golongan dayah dan Wahabi bersatu untuk membangun Aceh yang bermartabat. Golongan dayah dan wahabi memang sudah disatukan dalam bingkai agama Islam. Kaum Aswaja tidak mengkafirkan kaum Wahabi, namun menuduh Allah berjisim jelas sesat menyesatkan. Berbeda dengan imam besar Wahabi yang mengkafirkan orang islam yang bertawassul.
Jadi, wajarlah kalau orang dayah dan kaum Aswaja melakukan Parade, menuntut Aceh dikembalikan kedalam bingkai Aswaja sebagaimana telah pernah tegak pada masa Sultan Iskandar Muda.
Sudahkah Anda Mengenal Wahabi? 

Apresiasi tertinggi patut dihaturkan kepada saudara HYA, dimana dengan gelar akademiknya yang bejibun telah sudi menyumbangkan pikirannya untuk menyelidiki keuntungan dan kerugian Parade Aswaja seraya berharap aceh aman dalam bingkai ukhwah dan tidak saling menyalahi.
Namun ironisnya, beliau ingin mengharap perdamaian dalam ukhwah tetapi malah mengotorinya dengan ludah yang penuh provokasi. Salah satunya adalah keyakinan beliau kalau Parade tersebut adalah sebagai ajang jalan-jalan bagi orang yang jarang-jarang atau belum pernah ke Banda Aceh, namun dengan adanya parade tersebut sudah punya kesempatan untuk melihat-lihat ibu kota Provinsi Aceh. Bahkan lebih jauh beliau melempar dugaan tidak berdasar tentang ada pihak yang membiayainya dengan target memiliki suara di musim pilkada nanti. 
Ini merupakan “koh sampeng” yang sangat disayangkan. Kenapa memangnya ibukota provinsi? Apakah ibukota provinsi punya keistimewaan seperti Kota Madinah atau mungkin Tanah Haram Makkah sehingga orang-orang yang tidak tinggal di sana harus bermimpi dan bercita-cita untuk bisa kesana. Mungkin penduduknya sudah selangkah lebih maju dalam peradaban kehidupan? 
Tuduhan tidak berdasar lainnya yang patut disayangkan adalah bahwa santri yang mengikuti parade anti wahabi tidak tahu menahu tentang wahabi itu sendiri. Ini saat dia bertanya kepada salah seorang santri siapa wahabi itu sebenarnya. Seseorang yang tidak mau menjawab sebuah pertanyaan tidak bisa langsung dikatakan ia tidak tahu, bisa jadi ia memang tidak mau menjawab, atau bisa jadi guru santri tersebut benar-benar mendoktrin supaya tidak menjawab setiap pertanyaan wahabi. Lagi pula, seorang santri tidak menjawab tidak bisa dihukumi kepada semua orang yang ikut Parade. 
Akhirnya, penulis menyarankan kepada siapapun yang mengajak untuk berdamai agar dapat melakukannya dengan tulus, tidak melakukannya dengan setengah-setengah atau malah menggali kembali luka yang menjadi sumber perpecahan. Dalam bidang apapun, ajakan yang dilandasi keikhlasan dan ketulusan pasti akan disambuti dengan suka rela oleh semua orang. Sebaliknya, bila sarkasme yang ditonjolkan, bukan tidak mungkin akan memancing kekeruhan yang lebih besar. Wassalam. 
Zulfan Fahmi M.Nasir, Mahasiswa Ekonomi Syariah IAI Al-Aziziyah, Samalanga, Bireun, Provinsi Aceh. Email : zulfanfahmi90@gmail.com

sumber : http://www.umdah.co
Share on Google Plus

About Ari Munanzar

0 comments:

Post a Comment

Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula