Sedangkan saudara Hasanuddin Yusaf Adan (HYA) malah sebaliknya mengajak
kepada peperangan, seperti tersebut dalam tulisan beliau” Tidak kalah
pentingnya keuntungan pawai tersebut adalah bagi orang-orang yang
jarang-jarang atau belum pernah ke Banda Aceh kali ini sudah punya
kesempatan untuk melihat-lihat ibu kota Provinsi Aceh”. Atau seperti
“Apalagi kalau pihak yang sudah banyak mengeluarkan uang tapi tidak
terpilih, maka waktu itulah akan ada orang-orang yang sering berbahasa
Belanda, berbahasa burung, berbahasa tupai dan sebagainya”. Ini jelas
penghinaan dan provokasi yang mengajak kepada peperangan.
Sebelum mengetahui dan akhirnya berencana menyatukan kaum Aswaja dan
Wahabi di Bumi Aceh khususnya dan luar aceh pada umunya, kita tentu
harus tahu dulu siapa Wahabi dan siapa Aswaja. Aswaja atau Lebih dikenal
dengan Ahlusunnah Waljamaah adalah satu mazhab yang dikembangkan oleh
Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa
Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw (874 M- 936 M) dan Muhammad
bin Muhammad Abu Mansur Al-Maturidi (853 M-944 M). Sedangkan Mazhab
Wahabi dinisbahkan kepada Imam besar mereka Muhammad Bin Abdul Wahhab
(1701 M- 1793 M).
Pada tulisan Saudara Khairil Miswar (KM), Beliau menyebutkan kalau pada
dasarnya mazhab tersebut adalah aliran politik yang berevolusi kepada
aliran Teologi. Benarkah demikian? Apa yang saudara KM kemukakan masih
perlu dipertanyakan disebabkan beberapa alasan. Pertama, Asya’irah
adalah nama suatu pemahaman/itikad yang dinisbahkan kepada Abu Hasan
Asy’ari, salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Kedua, karena lahirnya
Asya’irah adalah bentuk ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham
Muktazilah yang mendakwa sesat dan kafir kaum muslimin. Begitu juga
aliran-aliran yang lain seperti Syiah, Mujassimah dan lain-lain,
semuanya merupakan masalah teologi dan akidah yang punya efek penting
dan berbahaya, karena menyangkut masalah keimanan. Jadi tidak benar
kalau golongan-golongan tersebut adalah golongan politik, meski tidak
menutup kemungkinan dalam perkembangannya harus “bermain” politik.
Perbedaan vital wahabi dengan ahlussunnah waljamaah
Ideologi Aswaja yang dikembangkan Imam Asy’ari bertolakbelakang dengan
ideologi yang dicetuskan Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sebagai bukti, Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Risalah Ahl al-Shuffah
membagi Tauhid kepada tiga bagian, Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma Wa
Sifat. Tauhid Rububiyyah adalah tauhid yang dimiliki oleh orang Muslim
dan orang musyrik. Dalam tauhid ini mengandung tauhid al-Khaliqiyyah
yaitu mengitikad Allah Swt sebagai Pencipta. Sedangkan Tauhid Uluhiyyah
adalah tauhid dalam penyembahan bahwa hanya Allah Swt semata yang
disembah dan tiada menyekutukan-Nya dengan apapun. Kemudian juga diikuti
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Kasyf al-Syubhat. Mereka
berdua mendakwa bahwa semua umat beragama di dunia juga mengakui tauhid
Rububiyah kepada Allah, mereka itu kafir hanya karena tidak memiliki
tauhid uluhiyyah (menyembah selain Allah). Para Rasul tidak mengajak
umatnya kepada tauhid Raububiyah karena tauhid tersebut telah ada pada
diri mereka tetapi yang diajak oleh Rasul hanyalah untuk mengakui tauhid
uluhiyah.
Dakwaan ini jelas menyalahi al-quran, karena banyak dalil al-quran yang
menunjukkan bahwa kaum musyrik itu menyekutukan sebagian sifat-sifat
kekhususan Allah SWT dengan sesembahan mereka. Ibnu Hajar Al-haitami
dalam kitabnya Fatawa Haditsiyah (h 85) menukil fatwa-fatwa nyeleneh
Ibnu taimiyah seperti Nabi tidak maksum, Allah berjisim (berbentuk
seperti manusia), berjihat (ada arah), berpindah-pindah , Neraka fana,
dan Nabi Muhammad Saw tidak ada kehormatan dan tidak boleh bertawassul
dengannya.
Dalam hal ini, Muhammad bin Abdul Wahhab juga sama. Ia mengatakan bahwa
orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang
saleh termasuk golongan orang musyrikin. Termasuk dalam perbuatan
musyrik adalah memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama
nabi-nabi, wali atau malaikat, misalnya menambahkan “sayyidina” di depan
nama Muhammad saw, dikutip oleh A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam hal.
191.
Semua fatwa-fatwa di atas mendapat penolakan keras dari ulama Aswaja
karena tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah. Mengutip tulisan KM,
masihkah kita berani mengatakan kalau perbedaan Aswaja dan Wahabi hanya
pada masalah Furuiyyah?
Kemudian Saudara KM mengatakan kalau Wahabi bermazhab Hambali, namun
dalam prakteknya mereka malah mengharamkan tawassul, menghancurkan
kuburan Nabi-nabi, sahabat dan keluarga Rasulullah. Padahal tidak ada
satu pun ulama Mazhab yang melarang tawassul.
Dengan demikian, jelaslah Wahabi tidak terikat dengan Mazhab apapun,
jika tidak, mereka tidak akan mengkafirkan orang yang bertawassul.
Apakah mengkafirkan seseorang masih bisa dikategorikan kepada Furuiyyah?
Alasan mereka tidak terikat dalam satu Mazhab karena memang mereka cuma
mengambil yang mudah saja dalam Mazhab tertentu, seandainya susah maka
akan ditinggalkan. Hal ini dibolehkan selama tidak Talfiq dan Tatabu’
Rukhas (mengambil yang ringan pada masalah agama dalam satu Mazhab dan
mencampurnya dengan yang mudah pada Mazhab lain). Dalam kesehariannya,
Talfiq dan Tatabu’ Rukhas inilah yang mereka praktekkan.
Nu, Muhammadiyah, Aswaja dan Wahabi
Dalam paragraf ke 17, saudara KM menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan
Wahabi. Benar memang Muhammadiyah dan Wahabi berbeda, karena Wahabi
adalah Firqah atau golongan pada masalah Teologi yang berlawanan dengan
Aswaja. Sedangkan Muhammadiyyah adalah organisasi yang digagas oleh K.H
Ahmad Dahlan, sebagaimana Nu yang digagas oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Bedanya, semenjak didirikan sampai sekarang, ideologi NU tidak pernah
lekang dari ahlussunnah wal jamaah. Berbeda dengan Muhammadiyah yang
lebih bersifat majemuk dalam mengikuti mazhab.
Terakhir, KM mengajak golongan dayah dan Wahabi bersatu untuk membangun
Aceh yang bermartabat. Golongan dayah dan wahabi memang sudah disatukan
dalam bingkai agama Islam. Kaum Aswaja tidak mengkafirkan kaum Wahabi,
namun menuduh Allah berjisim jelas sesat menyesatkan. Berbeda dengan
imam besar Wahabi yang mengkafirkan orang islam yang bertawassul.
Jadi, wajarlah kalau orang dayah dan kaum Aswaja melakukan Parade,
menuntut Aceh dikembalikan kedalam bingkai Aswaja sebagaimana telah
pernah tegak pada masa Sultan Iskandar Muda.
Sudahkah Anda Mengenal Wahabi?
Apresiasi tertinggi patut dihaturkan kepada saudara HYA, dimana dengan
gelar akademiknya yang bejibun telah sudi menyumbangkan pikirannya untuk
menyelidiki keuntungan dan kerugian Parade Aswaja seraya berharap aceh
aman dalam bingkai ukhwah dan tidak saling menyalahi.
Namun ironisnya, beliau ingin mengharap perdamaian dalam ukhwah tetapi
malah mengotorinya dengan ludah yang penuh provokasi. Salah satunya
adalah keyakinan beliau kalau Parade tersebut adalah sebagai ajang
jalan-jalan bagi orang yang jarang-jarang atau belum pernah ke Banda
Aceh, namun dengan adanya parade tersebut sudah punya kesempatan untuk
melihat-lihat ibu kota Provinsi Aceh. Bahkan lebih jauh beliau melempar
dugaan tidak berdasar tentang ada pihak yang membiayainya dengan target
memiliki suara di musim pilkada nanti.
Ini merupakan “koh sampeng” yang sangat disayangkan. Kenapa memangnya
ibukota provinsi? Apakah ibukota provinsi punya keistimewaan seperti
Kota Madinah atau mungkin Tanah Haram Makkah sehingga orang-orang yang
tidak tinggal di sana harus bermimpi dan bercita-cita untuk bisa kesana.
Mungkin penduduknya sudah selangkah lebih maju dalam peradaban
kehidupan?
Tuduhan tidak berdasar lainnya yang patut disayangkan adalah bahwa
santri yang mengikuti parade anti wahabi tidak tahu menahu tentang
wahabi itu sendiri. Ini saat dia bertanya kepada salah seorang santri
siapa wahabi itu sebenarnya. Seseorang yang tidak mau menjawab sebuah
pertanyaan tidak bisa langsung dikatakan ia tidak tahu, bisa jadi ia
memang tidak mau menjawab, atau bisa jadi guru santri tersebut
benar-benar mendoktrin supaya tidak menjawab setiap pertanyaan wahabi.
Lagi pula, seorang santri tidak menjawab tidak bisa dihukumi kepada
semua orang yang ikut Parade.
Akhirnya, penulis menyarankan kepada siapapun yang mengajak untuk
berdamai agar dapat melakukannya dengan tulus, tidak melakukannya dengan
setengah-setengah atau malah menggali kembali luka yang menjadi sumber
perpecahan. Dalam bidang apapun, ajakan yang dilandasi keikhlasan dan
ketulusan pasti akan disambuti dengan suka rela oleh semua orang.
Sebaliknya, bila sarkasme yang ditonjolkan, bukan tidak mungkin akan
memancing kekeruhan yang lebih besar. Wassalam.
Zulfan Fahmi M.Nasir, Mahasiswa Ekonomi Syariah IAI Al-Aziziyah, Samalanga, Bireun, Provinsi Aceh. Email : zulfanfahmi90@gmail.com
sumber : http://www.umdah.co
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula