Bid'ah merupakan sesuatu yang
sering dituduhkan kaum Khawarij atau pada masa modern ini disebut Wahabi
takfiri kepada kaum Aswaja. Mereka mengingkari adanya pembagian Bid’ah,
dan mengklaim kalau setiap Bid’ah itu sesat. Mereka dengan sombong dan
bodohnya tidak mau menerima kenyataan tentang pembagian Bid’ah, mereka
mengedepankan hawa nafsu, menutup mata, telinga dan tidak mau
menggunakan kebijaksanaan akal.
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah: مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ “Sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya”. Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ
احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ
إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ
مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ
نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ
لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ
الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ
وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ
الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ
رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan
mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah,
maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa
bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya
berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’
(artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض :
“Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk
al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’,
artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata
al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya
berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul
(obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل),
menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku
bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku”
(artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna
ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang
pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan
dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
الْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara
tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih
al-Bayan, jilid 1, h 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan
sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ
مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا،
وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ
مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya
karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian
keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang
menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang
mengajak kepada kesesatan”
Pembagian Bid’ah
1. Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah
Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
2. Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah
Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan
Sunnah."
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ
ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ
سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ
لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ ;رواه
الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi
Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara
mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah
yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini
tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih
dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i).(Manaqib asy-Syafi’i, jilid 1, hal 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ
مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang
menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (merawi oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari)"
Pembagian bid’ah ini oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama
setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli
hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka
adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan
lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi
al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi,
al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa
sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah
Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits
‘Aisyah, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak. Inilah yang tidak bisa diterima kaum Khawarij atau Wahabi takfiri. Sehingga mereka tidak mau merayakan maulid Nabi dan mengklaim orang yang melakukannnya telah melakukan Bid’ah.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari
al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah,
menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah
hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, hal. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid:
27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا
ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ ;الحديد: 27
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya
(Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan
rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi
(mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini
Allah memuji umat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim
dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan
berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka
karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena
mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan
menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin
berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “مَا كَتَبْنَاهَا”,
artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas
mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah
itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah
memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada
nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali
tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan
mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah,
dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak
menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka
membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di
tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada
Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ
الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ
شَىْءٌ ;رواه مسلم
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah
(perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut,
dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa
berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis
dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya
tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa
merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan
dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegang teguh dengan sunnah
(at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang
ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk
berpegang teguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits
tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam
Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik dan
belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna”
tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang
sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam
kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara
tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau
menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan
sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah
ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya
bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah
kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan
oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
4. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
"Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn
‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang
menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. "
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini
adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di
dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi
yang ma’tsur” (Fath al-Bari, juzuk 2, hal. 287).
6. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
Kasus-kasus yang jadi Bid’ah Hasanah
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ
صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ
مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ
الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ".
قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ
أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para
ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum
“Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat
“Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya
(an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah
(boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan
al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan
tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, juzuk 1, hal. 253-254).
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ ;رواه البخاريّ
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab
al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk
menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belum ada
sebelumnya. Jelaslah kalau makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian
berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan
sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin,
pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh,
beliau menjawab: “Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah
dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah
orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd
al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab,
juzuk. 1 hal. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat
Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada
bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh
Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan
agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini
disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka
semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf
al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan
al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya
dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan
menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan
mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan
titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah
pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat
Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf
al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan
alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka
hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan
menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan,
dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat
titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur
adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari
sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat
al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di
setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz),
Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah
dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang
diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang
yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah
ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah
ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh
dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu
adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang
memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana
ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W
806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi
(W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami
(W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam
(W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354
H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan
masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah
hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab
Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’,
al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar
lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah
menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam
surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di
masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu.
Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad
Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si
Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan
orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah,
an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40
tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun
kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari
ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat
pada peletakan atau tujuan awalnya.
Beberapa kasus Bid’ah Sayyi-ah.
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di
antaranya seperti: Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar)
Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak
mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan
ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-,
terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka
meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah
hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya
adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar
bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada
pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir.
Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan
seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali
mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana
hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
2. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan
Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan
bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak
memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya.
Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di
udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah
manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
3. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
4. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang
bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang shalih setelah para
nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran
terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang shalih di
masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di
hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini
adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang
kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya
yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
5. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf
(ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”
setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia
menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab
Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah
penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah
sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian
termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan
membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha'
dari kata Allah.
Demikianlah Pengertian dan pembagian Bid'ah. Kesimpulan yang
dapat kita ambil dari Uraian di atas adalah akal yang sehat, bijak dan
waras tidak akan menolak kebenaran tentang adanya pembagian Bid'ah
tersebut. Tidak semua Bid'ah sesat, jangan sekali-kali berani menuduh
orang Bid'ah, Khurafat dan Takhayul tanpa bukti yang jelas dan nyata
lebih-lebih lagi tanpa ilmu pengetahuan yang cukup. Semoga kita semua
selalu mendapat hidayah dari Allah swt dan terhindar dari akidah Kaum
Khawarij yang berani menentang nabi Muhammad saw. Khawarij masa kini
adalah Wahabi takfiri, yang berani mengingkar pewaris nabi, yaitu para
Alim Ulama. Wallahua'lam.
sumber : http://www.umdah.co/
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula