Akhir-akhir ini, muncul berbagai statemen seputar jihad yang disampai kan oleh
segelintir orang yang tidak memiliki pandangan yang jernih, dan ilmu yang
memadai. Sebagian dari mereka ada yang bersikap ekstrim dalam hal jihad. Mereka
berbicara tentang jihad dengan tanpa bashirah, tanpa ilmu, dan tanpa
memperhatikan ketentuan-ketentuan syari’at.
Sementara itu di sisi lain
ada yang bersikap dingin dan menganggap remeh jihad, sehingga ada yang menyifati
jihad sebagai tindakan pemaksaan dalam memeluk agama. Padahal Allah subhanahu
wata’ala telah berfirman, artinya, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah:256)
Maka masalah besar ini perlu
untuk mendapatkan perhatian dan perlu dijelaskan kepada ummat supaya semuanya
menjadi terang.
Umat Terdahulu dan Jihad
Jihad merupakan
kewajiban yang telah dilakukan oleh ummat-ummat terdahulu sebelum diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Musa misalnya, telah
berjihad bersama Bani Israil (periksa, QS. al-Maidah:21).
Demikian pula
halnya kaum-kaum sepeninggal nabi Musa, mereka pun disyari’atkan untuk berjihad,
seperti yang dilakukan Raja Thalut, Nabi Dawud, dan Nabi Sulaiman ketika
mendakwahi Ratu Bilqis.
Allah subhanahu wata’ala mensyari'atkan
jihad, sebagai ganti dari hukuman kontan yang berakibat pada kehancuran secara
total. Maka berlakulah jihad itu sebagai sunnah para nabi semenjak dahulu,
hingga diutusnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan
tujuan untuk meninggikan kalimat Allah subhanahu wata’ala dan
menghilangkan kemusyrikan dan kekufuran.
Makna dan Macam Jihad
Jihad secara bahasa artinya berjuang atau bersungguh-sungguh. Maksudnya
adalah mencurahkan kesungguhan dalam rangka taat kepada Allah subhanahu
wata’ala dan beribadah kepada-Nya, termasuk di dalamnya berjuang menghadapi
orang-orang kafir. Jihad ada beberapa macam, seorang muslim senantiasa berjihad
dengan melaksanakan salah satu dari macam jihad tersebut, yaitu:
1.
Jihad an-Nafs
Yaitu memerangi diri sendiri agar senantiasa taat
kepada Allah subhanahu wata’ala, menyuruh diri sendiri agar menjalan kan
ketaatan itu, membiasakannya, serta melarang diri dari bermaksiat kepada Allah
subhanahu wata’ala dan mencegah darinya. Jihad terhadap diri sendiri
berlaku sepanjang hidup. Barangsiapa yang tidak bisa menghadapi diri sendiri,
maka ia tidak akan dapat menghadapi orang lain. Nafsu senantiasa memerintahkan
kepada keburukan, kecuali nafsu yang mendapatkan rahmat. Maka nafsu itu harus
diperangi agar terbiasa dengan ketaatan, sehingga memungkinkan untuk
melaksanakan tahapan jihad yang lainnya.
2. Jihad Melawan Syetan
Jika seseorang telah berhasil melawan diri sendiri, maka selanjutnya dia
harus berjuang melawan syetan. Yaitu musuh yang senantiasa datang menggoda dari
segenap penjuru arah, kiri, kanan, depan, dan belakang. Syetan selalu menghiasi
perbuatan buruk dan menanamkan was-was, mengajak kepada kekufuran, kemusyrikan,
dan kemaksiatan. Memerangi syetan dengan cara tidak menjalankan keburukan yang
dia bisikkan serta menjalankan apa yang dia larang. Syetan menyuruh kita agar
meningggalkan ibadah dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, syetan
menyuruh kita agar bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, maka kita
jangan mengikuti perintahnya.
3. Jihad Melawan Ahli Maksiat
Yaitu menghadapi orang mukmin yang banyak melakukan kemaksiatan dan
penyimpangan, yakni dengan amar ma'ruf (menyuruh kebaikan) dan nahi
munkar (mencegah kemungkaran). Amar ma'ruf nahi munkar merupakan salah satu
jenis jihad, namun ini dilakukan sesuai kemampuan orang per orang.
4.
Jihad terhadap Orang Munafiq
Orang munafik yaitu orang yang
menampakkan keislaman dan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran kepada Allah
subhanahu wata’ala. Dari mereka kaum muslimin sering mendapati perlakuan
dan sikap yang menyakitkan, ucapan yang buruk, dan syubhat (kerancuan). Sehingga
dibutuhkan jihad untuk merontokkan syubhat mereka, menjawab ucapan mereka yang
mengada-ada (bid’ah), dan menjelaskan kekeliruan mereka. Orang-orang munafik ini
terkadang memiliki retorika yang mengagumkan, terkadang memiliki ilmu komunikasi
yang bagus (logika/mantiq, filsafat dan ilmu kalam). Mereka memusuhi orang
mukmin dan menyebarkan keburukan, dengan ucapan maupun tulisan, atau dengan
mengadu domba dan menanamkan permusuhan di tengah kaum muslimin.
Maka
wajib untuk waspada terhadap mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu
wata’ala, artinya,
“Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka
waspadalah terhadap mereka.” (QS. al-Munafiqun:4)
5. Jihad
terhadap Orang Kafir
Yaitu dengan mengangkat senjata, menghadapi
mereka dalam “front” pertempuran, berperang di jalan Allah subhanahu
wata’ala. Tetapi kewajiban ini dilaksanakan dengan cara bertahap,
sebagaimana dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih
berada di Makkah, kaum muslimin justru dilarang untuk berjihad dan diperintahkan
untuk menahan diri dan terus berdakwah menyampaikan ajaran Islam.
Pembagian Jihad fi Sabilillah
Pertama; Jihad
Fardhu ‘Ain; Yakni wajib atas setiap muslim yang mampu untuk berjihad,
seperti dalam peperangan untuk membela diri dan mempertahankan negri kaum
muslimin. Di antara kondisi jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah:
1.
Jika kaum muslimin diserang oleh musuh di dalam negeri mereka, maka mereka harus
melawan, sehingga wajib bagi siapa saja dari penduduk negri yang mampu berperang
untuk membela diri, menjaga kehormatan dan mempertahankan negri yang diserang
tersebut.
2. Apabila Imam menyuruh untuk berjihad, maka hukum jihad
adalah fardhu ain bagi setiap muslim yang mampu.
3. Apabila telah siap
berperang dan dua pasukan sudah berhadapan, maka tidak boleh mundur atau lari,
jika memiliki kekuatan yang mencukupi. Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu
orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi
mereka (mundur).” (QS. al-Anfal:15)
2. Ke dua; Jihad
Fardhu Kifayah; Yakni jihad dalam rangka berdakwah kepada orang kafir, untuk
memberikan kemaslahatan, melepaskan manusia dari kemusyrikan dan kekufuran,
menyelamatkan mereka dari neraka, dan meninggikan kalimat Allah subhanahu
wata’ala, sama sekali bukan karena tamak untuk menguasai negri mereka.
Kepada mereka ditawarkan Islam, atau perjanjian damai, dan jika tidak mau maka
berarti mereka memilih jalan terakhir yakni berperang, sehingga wajib bagi kaum
muslimin menghadapi mereka. Jika kewajiban dakwah ini telah dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin yang memiliki kemampuan maka gugurlah kewajiban yang
lain.
Seruan Jihad Wewenang Imam
Yang berhak menyerukan
jihad dan mengaturnya adalah imam kaum muslimin. Imam lah yang mempunyai
wewenang menegakkan jihad, mengatur tentara dan pasukan, mengomando sendiri atau
mengangkat orang untuk menjadi panglima. Tidak boleh setiap muslim melakukan
jihad sendiri-sendiri tanpa izin dari imam kecuali dalam kondisi diserang musuh,
karena mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang membahayakan.
Seluruh kaum muslimin harus di bawah satu imam dan satu komando, tidak
boleh berpecah-belah, karena mereka adalah ummat yang satu. Jika dalam masalah
ikhtilaf (perbedaan pendapat) tidak boleh menyebabkan berpecah-belah,
maka bagaimana pula dalam jihad, yang urusannya jauh lebih besar?
Mengenai alasan mengapa tidak setiap muslim boleh mengumandang kan
jihad, di antaranya adalah karena jihad bukan urusan yang ringan, tetapi masalah
besar dan penting yang butuh penyatuan pendapat, butuh kekuatan, penataan dan
strategi, serta butuh persiapan yang besar.
Demikian beberapa masalah
seputar jihad. Yang patut dicatat adalah bahwa tujuan jihad itu sangat luhur,
yakni agar manusia hanya beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala
semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, selaras dengan tujuan
dakwah para rasul. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu". (QS. an-Nahl:36). Juga
firman-Nya, artinya,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya:25)
Kemudian tak kalah penting adalah hendaknya diperhatikan betul
hukum-hukumnya, adab-adabnya, syarat-syarat dan ketentuannya dengan merujuk
kepada para ulama. Dengan demikian maka jihad yang dilakukan adalah jihad syar'i
yang bermanfaat bagi umat, bukan jihad asal-asalan, jihad prematur, jihad tanpa
bashirah dan ilmu.
Setelah kita mengetahui beberapa penjelasan
tentang jihad sebagaimana di atas, maka sangat jelas bahwa apa yang dilakukan
oleh sekelompok orang berupa aksi pengeboman, penculikan, pebunuhan dan
semisalnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan jihad yang di atur
dalam Islam, meskipun mereka mengklaim itu sebagai bagian dari jihad. Sebab
Islam sangat melarang keras perbuatan yang menyebabkan kerusakan di muka bumi
dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terjaga darahnya, tanpa alasan yang
haq.
Jika terhadap binatang Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku
ihsan, maka bagaimana pula halnya terhadap manusia?
Sumber:
“Fatawa al-Ulama al-Kibar fil Irhab wat-Tadmir wa Dhawabith al-Jihad
wat-Takfir wa Mu’amalatul Kuffar,” hal 290-300 dengan menyadur dan
meringkas.
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula