MAHAR merupakan akibat dan salah satu hukum dari sebagai hukum dalam
suatu perkawinan yang shahih, dan hubungan sebadan yang disebabkan
kesamaran. Mahar wajib atas suami untuk isterinya dengan adanya akad
nikah yang shahih. Kewajiban itu semakin kuat dengan hubungan kelamin
dengan isterinya itu, atau bermesra-mesraan yang benar dengannya, atau
karena kematiannya. Baik mahar itu disebutkan dalam akad nikah dengan
penyebutan yang benar, atau tidak disebutkan dalam akad nikah dengan
penyebutan yang benar, atau tidak disebutkan, atau ditiadakan, ataupun
disebutkan dengn penyebutan yang tidak benar. Hanya saja, jika mahar itu
disebutkan dalam akad nikah dengan penyebutan yang benar, maka mahar
yang disebutkan, maka mahar mitsil (persamaan) tetap menjadi hak isteri itu, sebagaimana akan dijelaskan secara terperinci dalam bahasan mendatang.
Mahar wajib pula atau suami untuk isterinya dengan hubungan sebadan,
apabila hal itu terjadi setelah akad nikah yang fasid (batal), seperti
nikah tanpa adanya saksi-saksi, atau setelah terjadinya kesamaran yang
diakui keberadaanya, tanpa melalui pernikahan sama sekali, sebagaimana
seorang laki-laki menemukan seorang perempuan di atas tempat tidurnya,
kemudian ia menyangka perempuan itu sebagai isterinya, lantas ia
berhubungan dengannya. Padahal tenyata perempuan itu merupakan orang
lain. Hanya saja, bahwa di sini mahar itu wajib secara kuat semenjak
permulaan hal itu, karena adanya hubungan sebadan.
Selajutnya, jika hubungan sebadan itu setelah terjadi kesamaran, maka yang wajib untuk perempuan itu adalah mahar mitsil (persamaan) secara mutlak. Kemudian apabila hubungan sebadan itu terjadi sesudah nikah yang fasid (batal), maka jika mahar itu disebutkan dalam akad itu, wajib untuk perempuan itu jumlah yang lebih kecil antara mahar mitsil dan mahar musamma (yang disebutkan). Jika mahar itu tidak disebutkan,
Dalil kewajiban mahar atas suami untuk isterinya adalah:
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”. (QS: An-Nisaa Ayat: 4) []
Sumber: Hukum-hukum Wanita dalam Fiqih Islam/Karya: Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi /Penerbit: Dina Utama Semarang
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula