Salah satu pilar utama dan landasan mendasar
bagi manhaj salafi adalah perhatian terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari
segi penelitian keshohihannya, mempelajari kandungan maknanya, membelanya dari
hujatan, mengamalkan kandungannya, dan menebarkannya kepada khalayak manusia.
Hal itu merupakan tanda utama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahli Hadits, dan
Salafiyyun.
Tidak demikian halnya dengan kelompok-kelompok
lainnya. Kelompok-kelompok selain Ahlus Sunnah, mereka kurang perhatian terhadap
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa membedakan mana hadits yang shohih dan tidak.
Bahkan terkadang mereka bersandar pada akal dan hawa nafsunya. Lebih parah lagi,
bahkan ada yang berani menggugat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menentangnya.[1]
Lalu, bagaimana peran Imam Syafi’i dalam
hadits?! Sebenarnya itu adalah masalah yang cukup populer dari imam yang
mendapat gelar “pembela hadits” ini, namun tidak mengapa jika kita tampilkan di
sini beberapa sisi dan bukti pembelaan dan pengagungan beliau terhadap hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tekankan pula di sini beberapa masalah yang merupakan kaidah
dan prinsip dasar dalam memahami dan membela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i Pembela Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sesungguhnya membela hadits Nabi merupakan
suatu amalan yang amat mulia dan utama. Oleh karenanya, tidak heran bila para
ulama menilainya sebagai jihad fi sabilillah. Imam Yahya bin Yahya rahimahullah pernah mengatakan:
الذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ أَفْضَلُ مِنَ
الْجِهَادِ
“Membela sunnah lebih utama daripada
jihad.” [2]
Dan Imam Syafi’i termasuk dalam barisan para
pembela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga beliau mendapat gelar dari para ulama
semasa beliau dengan “Nashirus Sunnah” (pembela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Semoga Alloh merahmati Syafi’i, dia telah membela hadits-hadits
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [3]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
سُمِّيْتُ بِمَكَّةَ نَاصِرَ
الْحَدِيْثِ
“Di Makkah saya digelari sebagai pembela
hadits.” [4]
سُمِّيْتُ بِبَغْدَادَ نَاصِرَ
الْحَدِيْثِ
“Di Baghdad saya digelari sebagai pembela
hadits.” [5]
Sikap sangat menarik dan menakjubkan yang
menunjukkan pengagungan Imam Syafi’i terhadap hadits dan sikap beliau terhadap
orang yang menolak hadits adalah kisah laporan beliau kepada al-Qodhi Abul
Bakhtari tentang Bisyr al-Marrisi[6] karena dia telah menolak hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam
Syafi’i rahimahullah
bercerita, “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu dia
mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya datang kepada Abul Bakhtari
seraya aku katakan kepadanya, ‘Aku mendengar al-Marrisi mengatakan bahwa undian
adalah perjudian!!’ Lalu dia (Abul Bakhtari) mengatakan, ‘Wahai Abu Abdillah
(kunyah Imam Syafi’i), datangkanlah saksi lainnya niscaya saya akan
membunuhnya.’ Dalam lafazh lainnya, ‘Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya
akan mengangkatnya di atas pohon lalu menyalibnya.’ ” [7]
Kedudukan Hadits Dalam Pandangan Imam
Syafi’i
Ketahuilah wahai saudaraku—semoga Alloh
merahmatimu—bahwasanya Alloh menurunkan dua wahyu berupa al-Qur’an dan al-Hikmah
kepada Rosul-Nya dan mewajibkan seluruh hamba mengimani keduanya dan mengamalkan
kandungannya. Alloh berfirman:
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ
وَٱلْحِكْمَةَ
Dan Alloh telah menurunkan kitab dan hikmah
kepadamu. (QS. an-Nisa’ [4]: 113)
Menurut kesepakatan ulama salaf, yang dimaksud
“kitab” ialah al-Qur’an, sedang “hikmah” adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam
Syafi’i rahimahullah
berkata:
فَذَكَرَ اللهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ
وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ
يَقُوْلُ الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
“Alloh menyebut al-Kitab yaitu al-Qur’an dan
mengiringinya dengan al-hikmah. Saya mendengarkan orang-orang yang saya ridhoi
dari para ahli ilmu tentang al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa maksud al-Hikmah
adalah sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” [8]
Imam Syafi’i Membantah Para Pengingkar
Hadits
Imam Syafi’i telah membantah secara tuntas para
pengingkar sunnah yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an saja tanpa
hadits. Beliau berdialog dengan mereka dengan hujjah-hujjah yang kuat. Banyak
sekali ucapan beliau dalam masalah ini, tetapi kita nukil beberapa saja di
sini.
وَكُلُّ مَا سَنَّ فَقَدْ أَلْزَمَنَا اللهُ
اتِّبَاعَهُ وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِ طَاعَتَهُ, وَفِي الْعُنُوْدِ عَنِ
اتِّبَاعِهَا مَعْصِيَتَهُ الَّتِيْ لَمْ يَعْذِرْ بِهَا خَلْقًا, وَلَمْ يَجْعَلْ
لَهُ مِن اتِّبَاعِ سُنَنِ رَسُوْلِ اللهِ مَخْرَجًا لِمَا وَصَفْتُ وَمَا قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ
“Setiap apa yang dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka Alloh mewajibkan kita untuk mengikutinya dan menjadikan hal itu sebagai
ketaatan dan Alloh menjadikan sikap menyimpang dan tidak mengikutinya sebagai
kemaksiatan yang Alloh tidak memberikan udzur kepada makhluk, dan Alloh tidak
menjadikan jalan keluar dari mengikuti sunnah-sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
telah saya jelaskan dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [9]
Lalu beliau membawakan sebuah hadits Abu Rofi’
radhiallahu ‘anhu:
لاَ أَلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى
أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ
نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ لاَ أَدْرِيْ مَا وَجَدْنَا فِيْ كِتَابِ اللهِ
اتَّبَعْنَاهُ
(Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,) “Hampir saja saya
mendapati salah seorang di antara kalian duduk seraya bersandar di atas ranjang
hiasnya tatkala datangnya kepadanya perintah atau larangan dariku lalu dia
berkomentar, ‘Saya tidak tahu, apa yang kami jumpai dalam al-Qur’an maka kami
mengikutinya.’ ” [10]
Beliau berkomentar tentang hadits di
atas:
وَفِيْ هَذَا تَثْبِيْتُ الْخَبَرِ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ وَإِعْلاَمُهُمْ أَنَّهُ لاَزِمٌ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدُوْا لَهُ
نَصَّ حُكْمٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang
hujjahnya hadits dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan penjelasan kepada hamba bahwa wajib bagi
mereka mengikuti hadits sekalipun mereka tidak mendapati nas hukumnya dalam
Kitabulloh (al-Qur’an).’ ” [11]
Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Inilah kabar
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ingkarnya para ahli bid’ah terhadap hadits beliau. Sungguh
apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampaikan telah nyata terjadi.” [12]
Aduhai, seandainya kita mencukupkan dengan
al-Qur’an saja tanpa hadits, lantas bagaimanakah sifat (tata cara) secara rinci
tentang sholat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya?! Bukankah dalam al-Qur’an
hanya disebutkan secara global saja?!! Pikirkanlah!
Hadits Ahad Hujjah Menurut Imam
Syafi’i
Masalah ini telah dibahas tuntas dan panjang
lebar oleh Imam Syafi’i dalam banyak kesempatan. Imam Ibnul Qoyyim berkata,
“Kelompok ketiga mengatakan, ‘Kami menerima hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mutawatir dan kami menolak hadits-hadits ahad[13] baik berupa ilmu maupun amal.’ Syafi’i telah berdialog dengan
sebagian manusia pada zamannya tentang masalah ini, kemudian Syafi’i mematahkan
syubhat (kerancuan) lawannya dan menegakkan hujjah-hujjah kepadanya. Syafi’i
membuat satu bab yang panjang tentang wajibnya menerima hadits ahad. Tidaklah
beliau dan seorang pun dari ahli hadits membedakan antara hadits masalah
ahkam (hukum) dan sifat
(aqidah). Paham pembedaan seperti tidaklah dikenal dari seorang pun dari sahabat
dan satu pun dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in maupun seorang pun dari kalangan
imam Islam. Paham ini hanyalah dikenal dari para gembong ahli bid’ah beserta
cucu-cucunya.” [14]
Di antara kata mutiara yang diucapkan Imam
Syafi’i tentang masalah ini adalah nukilan beliau tentang ijma’ ulama akan
hujjahnya hadits ahad apabila shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
berkata:
لَمْ أَحْفَظْ عَنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ
أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ تَثْبِيْتِ خَبَرِ الْوَاحِدِ
“Saya tidak mendapati perselisihan pendapat di
kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad.” [15]
Para ulama kita telah membahas tuntas dan
panjang masalah ini, sehingga tidak perlu bagi kami untuk merincinya di
sini.[16]
Tidak Mungkin al-Qur’an Bertentangan Dengan
Hadits
Harus kita yakini bahwa dalil-dalil dari
al-Qur’an dan hadits yang shohih tidaklah saling bertentangan sama sekali karena
keduanya dari Alloh. Alloh berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ
كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا
﴿٨٢﴾
Maka apakah mereka tidak memperhatikan
al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 82)
Itulah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i
tatkala berkata:
وَلاَ تَكُوْنُ سُنَّةٌ أَبَدًا تُخَالِفُ
الْقُرْآنَ
Bahkan beliau menilai bahwa ucapan seseorang,
“Hadits apabila menyelisihi tekstual al-Qur’an, tertolak,” merupakan suatu
kejahilan.[18]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Yang wajib diyakini
setiap muslim, tidak ada satu pun hadits shohih yang menyelisihi Kitabulloh.
Bagaimana tidak, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah penjelas Kitabulloh, al-Qur’an diturunkan
kepada beliau, dan beliau diperintah untuk mengikutinya. Jadi, beliaulah makhluk
yang paling mengerti maksud al-Qur’an! Seandainya setiap orang boleh menolak
sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdasarkan pemahamannya terhadap tekstual
al-Qur’an, maka betapa banyak sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang akan ditolak dan akan gugurlah
semuanya.” [19] Kemudian beliau menjelaskan bahwa mempertentangkan antara hadits
dengan al-Qur’an adalah ciri khas ahli bid’ah, dengan menampilkan
contoh-contohnya. Seandainya bukan karena khawatir terlalu panjang maka akan
kami nukilkan.[20]
Apabila Hadits Bertentangan dengan
Pendapat
Imam Syafi’i telah berwasiat emas kepada kita,
apabila ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kita maka hendaknya kita
mendahulukan hadits dan berani meralat pendapat kita.
Imam Ibnu Rojab berkata, “Adalah Imam Syafi’i,
beliau sangat keras dalam hal ini. Beliau selalu mewasiatkan kepada para
pengikutnya untuk mengikuti kebenaran apabila telah tampak kepada mereka dan
memerintahkan untuk menerima sunnah apabila datang kepada mereka, sekalipun
menyelisihi pendapat beliau.” [21]
Banyak sekali bukti akan hal itu. Cukuplah
sebagian nukilan berikut sebagai bukti akan hal itu:
1 — Robi’ (salah seorang murid senior Syafi’i)
berkata, “Saya pernah mendengar Imam Syafi’i meriwayatkan suatu hadits, lalu ada
seorang yang hadir bertanya kepada beliau, ‘Apakah engkau berpendapat dengan
hadits ini, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab:
مَتَى رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثًا
صَحِيْحًا وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُمْ أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ
ذَهَبَ
‘Kapan saja saya meriwayatkan sebuah hadits
shohih dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian saya tidak mengambilnya, maka
saksikanlah oleh kalian bahwa akalku telah hilang.’ ” [22]
2 — Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
يَا ابْنَ أَسَدٍ اقْضِ عَلَيَّ حَيِيْتُ أَوْ
مِتُّ أَنَّ كُلَّ حَدِيْثٍ يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ فَإِنِّيْ أَقُوْلُ بِهِ
وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْنِيْ
“Wahai Ibnu Asad, putuskanlah atasku, baik aku
masih hidup atau setelah wafat bahwa setiap hadits yang shohih dari Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya itulah pendapatku, sekalipun hadits tersebut
belum sampai kepadaku.” [23]
3 — Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ
مَذْهَبِيْ
“Apabila ada hadits shohih maka itulah
madzhabku.” [24]
Demikianlah beberapa contoh pengagungan beliau
terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan peringatan keras beliau terhadap penolakan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ambillah pelajaran wahai orang yang berakal!!
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan
bahwa Imam Syafi’i betul-betul layak bergelar “pembela hadits” karena
pembelaannya kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bantahannya kepada para penghujat hadits.
Dan beliau juga telah meletakkan kaidah-kaidah penting, seperti:
- Hadits adalah hujjah seperti halnya al-Qur’an.
- Hadits ahad adalah hujjah baik dalam aqidah maupun hukum.
- Hadits tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an.
- Hadits harus lebih didahulukan daripada pendapat manusia.[25]
Penulis: Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi

[1] Lihat al-Intishor Li Ashhabil
Hadits karya as-Sam’ani hlm. 54–56.
[2] Dzammul Kalam karya al-Harowi: 4/254
no. 1089, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah: 4/13
[3] Tawali Ta’sis karya Ibnu Hajar hlm.
86
[4] Tawali Ta’sis hlm. 40
[5] Siyar A;lam Nubala’:
3/3286.
[6] Demikian harokatnya yang benar, dengan memfathah mim,
mengkasroh ro’ dan mensukun ya’. (Wafayatul
A’yan karya Ibnu Khollikan: 1/278, Dhobtul A’lam karya Ahmad Taimur Basya
hlm. 189)
[7] Diriwayatkan al-Khollal dalam as-Sunnah: 1735 dan al-Khothib al-Baghdadi
dalam Tarikh-nya: 7/60 dengan
sanad yang shohih. (Lihat Sittu Duror karya Abdul Malik Romadhoni hlm. 65)
[8] Ar-Risalah hlm. 78
[9] Ar-Risalah hlm. 88–89
[10] HR. Abu Dawud: 4604, Ahmad: 4/130–131, dll. Hadits ini
dishohihkan al-Albani dalam al-Misykah: 163 dan al-Hadits Hujjatun
Binafsihi hlm. 30.
[11] Ar-Risalah hlm. 404
[12] Dala’il Nubuwwah: 1/25
[13] Mutawatir secara bahasa artinya
berurutan atau beriringan. Adapun secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan
dari jalan yang sangat banyak sehingga mustahil kalau mereka bersepakat dalam
kedustaan karena mengingat banyak jumlahnya dan keadilannya serta perbedaan
tempat tinggalnya. Ahad
secara bahasa artinya satu, sedang secara istilah yaitu hadits yang diriwayatkan
dari satu jalan, dua atau lebih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. (Lihat
Akhbarul Ahad Fil Hadits Nabawi karya Abdulloh al-Jibrin hlm. 40, 48, Taisir Mustholah Hadits karya Dr. Mahmud
ath-Thohan hlm. 23, 27)
[14] Mukhtashor Showa’iq al-Mursalah:
2/433–435
[15] Ar-Risalah hlm. 457
[16] Lihatlah kitab al-Hadits Hujjah
Binafsihi Fil Aqo’id wal Ahkam dan Wujub al-Akhdhi Bihaditsil Ahad Fil Aqidah war Roddu ’Ala Syubahil
Mukholifin, keduanya karya Syaikh al-Albani.
[17] Jima’ul Ilmi hlm. 124, ar-Risalah hlm. 546.
[18] Ikhtilaf Hadits hlm. 59
[19] Ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm.
101
[20] Lihat ath-Thuruq
al-Hukmiyyah hlm. 82–84.
[21] Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm.
9
[22] Al-Faqih wal Mutafaqqih karya
al-Khothib al-Baghdadi: 1/389
[23] Al-I’tiqod karya al-Baihaqi hlm.
133
[24] Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim:
9/170 dan dishohihkan an-Nawawi dalam al-Majmu’: 1/63. Al-Hafizh Ibnu Hajar v\
berkata, “Ucapan ini masyhur dari beliau.” (Tawali
Ta’sis hlm. 109). Dan as-Subki memiliki kitab khusus
tentang ucapan ini berjudul Ma’na Qoulil Imam
al-Muthollibi Idza Shohhal Haditsu Fahuwa Madzhabi.
[25] Diringkas dari manuskrip buku karya penulis berjudul
Manhaj Salafi Imam Syafi’i.
Insya Alloh akan segera dicetak. Semoga Alloh memudahkan
penerbitannya.
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula