Sesungguhnya hak makhluk yang paling utama
adalah hak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak ada hak makhluk yang lebih tinggi
darinya. Alloh berfirman (yang artinya):
Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad)
sebagai saksi, pembawa berita gembira, dan pemberi peringatan. Supaya kamu
sekalian beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya, memuliakannya dan menghormatinya
(Rasul). Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.([1])
(QS.Al-Fath:8-9)
Maksud “memuliakan dan menghormati Nabi” yakni
dengan pengagungan yang selayaknya, tidak kurang dan tidak pula berlebihan, baik
di masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Di masa hidupnya yaitu dengan
mengagungkan pribadi dan Sunnah beliau. Adapun setelah wafatnya yaitu dengan
mengagungkan Sunnah dan syari`atnya.
Di antara hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas umatnya
adalah umat ini harus membenarkan setiap apa yang beliau khabarkan, baik hal-hal
yang berkaitan dengan masa lampau maupun masa yang akan datang, menjalankan
semua perintahnya, menjauhi semua larangannya serta menyakini bahwa petunjuknya
adalah petunjuk yang paling baik dan paling sempurna.
Di antara hak beliau juga adalah membela
Sunnah/haditsnya dengan mencurahkan segala kemampuan sesuai keadaan. Apabila
musuh menyerang Sunnah dengan argumen dan syubhat, maka kita lawan dengan
menyebarkan ilmu, menepis syubhat serta membongkar kebobrokannya. Dan apabila
musuh menyerang dengan senjata, maka kita hadapi dengan senjata pula. Sungguh
tidak mungkin bagi seorang mukmin yang memiliki kemampuan, tatkala dia mendengar
hujatan terhadap syari`at Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam atau pribadi beliau, dia diam begitu saja tanpa
ada pembelaan[2].
Berikut ini adalah salah satu contoh upaya
pembelaan terhadap Sunnah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dari hujatan. Lantas, apakah kita
akan merealisasikan kewajiban kita? Apakah kita akan memenuhi hak Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bertanyalah pada diri kita masing-masing wahai saudaraku
pembaca!
TEKS HADITS
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ أَنَّ اْلنَّبِيَّ قَالَ يَوْمًا : أَتَدْرُوْنَ أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ اْلشَّمْسُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: إِنَّ هَذِهِ تَجْرِيْ حَتىَّ تَنْتَهِيَ إِلىَ مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ اْلعَرْشِ, فَتَخِرَّ سَاجِدَةً, فَلاَ تَزَالُ كَذَالِكَ حَتىَّ يُقَالَ لَهَا: اِرْتَفِعِيْ, اِرْجِعِيْ مِنْ حَيْثُ جِئْتِ فَتَرْجِعُ, فَتُصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلِعِهَا, ثُمَّ تَجْرِيْ لاَ يَسْتَنْكِرُهَا اْلنَّاسُ مِنْهَا شَيْئًا حَتىَّ تَنْتَهِيَ عَلىَ مُسْتَقَرِّهَا ذَلِكَ تَحْتَ اْلعَرْشِ فَيُقَالُ لَهَا: اِرْتَفِعِيْ, أَصْبِحِيْ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِكِ, فَتُصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِِهَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: أَتَدْرُوْنَ مَتىَ ذَاكُمْ؟ ذَاكَ حِيْنَ (لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ ءَامَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِيْ إِيْمَانِهَا خَيْرًا) (الأنعام: 158)
Dari Abu Dzar bahwa pada suatu hari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda, “Tahukah kalian ke manakah matahari ini pergi?” Mereka berkata,
“Alloh dan Rasul-Nya lebih mengetahui?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari
ini berjalan sehingga sampai ke tempat peredarannya di bawah Arsy, lalu dia
bersujud. Dia tetap selalu seperti itu sehingga dikatakan kepadanya: ‘Bangunlah!
Kembalilah seperti semula engkau datang’, maka dia pun kembali dan terbit dari
tempat terbitnya, kemudian dia berjalan sehingga sampai ke tempat peredarannya
di bawah Arsy, lalu dia bersujud. Dia tetap selalu seperti itu sehingga
dikatakan kepadanya: ‘Bangunlah! Kembalilah seperti semula engkau datang’, maka
dia pun kembali dan terbit dari tempat terbitnya, kemudian berjalan sedangkan
manusia tidak menganggapnya aneh sedikitpun darinya sehingga sampai ke tempat
peredarannya di bawah Arsy, lalu dikatakan padanya: ‘Bangunlah, terbitlah dari
arah barat’, maka dia pun terbit dari barat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya), “Tahukah kalian kapan hal itu terjadi? Hal itu terjadi ketika
tidak bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman
sebelum itu atau dia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.”
Takhrij Hadits
- Diriwayatkan oleh Bukhari 4802,3199,7424,7433, Muslim 159 -dan ini lafazhnya, Ath-Thayyalisi dalam Musnadnya 460, Ahmad dalam Musnadnya 5/145,152,165,177, Abu Dawud 4002, Tirmidzi 3227, Nasa’i dalam Sunan Kubra 11430, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4292, 4293, dan lain sebagainya. Seluruhnya dari jalur Ibrahim bin Yazid at-Taimi dari ayahnya dari Abu Dzar z/.
- Abu Isa At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Al-Baghawi berkata, “Hadits shahih menurut syarat Muslim.” [3]
- Kendatipun hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, namun bukan berarti dia harus selamat dari kritikan, baik dari segi sanad maupun matannya. Buktinya, ada sebagian kalangan yang mencoba untuk mempermasalahkannya. Namun sayangnya, argumen yang mereka kemukakan dinyatakan “lemah” dalam timbangan ilmu hadits, sebagaimana akan jelas bagi saudara pembaca sesaat lagi.
سَوْفَ تَرَى إِذَا انْجَلَى الْغُبَارُ
أََفَرَسٌ تَحْتَكَ أَمْ حِمَارُ
Bila debu telah terang maka engkau akan segera
tahu
1. Sanad Hadits
- Syaikh Rasyid Ridha berkomentar tentang sanadnya, “Hadits ini diriwayatkan oleh syaikhain (Bukhari-Muslim) dari beberapa jalur dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzar z/, sedangkan dia adalah mudallis. Sekalipun mayoritas ulama menganggapnya tsiqah (terpercaya). Imam Ahmad berkata, ‘Dia tidak bertemu Abu Dzar.’ Ad-Daruquthni berkata, ‘Dia tidak mendengar dari Hafshah, tidak pula Aisyah c/, bahkan tidak pula mendapati masa keduanya.’ Ibnu Madini berkata, ‘Dia tidak mendengar dari Ali, dan tidak pula Ibnu Abbas c/.’ Demikian disebutkan dalam Tahdzibut Tahdzib.
- Selain itu hadits ini juga diriwayatkan dari mereka secara `an`anah[6], maka hal ini mengandung kemungkinan bahwa orang yang menceritakannya dari mereka bukan orang yang tsiqah.
- Apabila dalam sebagian riwayat shahihain (shahih Bukhari-Muslim) dan kitab-kitab sunan saja terdapat kecacatan semacam ini, yakni kemungkinan masuknya israiliyyat ([7]) dan kesalahan penukilan, lantas bagaimana kiranya hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dan para penulis kitab-kitab sunan?!” [8]
Jawaban:
- Demikianlah perkataaan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, semoga Alloh mengampuninya! Padahal kalau dicermati, perkataan di atas sangat berbahaya dan mengandung celaan terhadap hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau minimal tasykik (meragukan) keabsahannya, padahal hadits tersebut disepakati oleh Bukhari-Muslim yang telah diterima oleh umat dengan bulat.
- Aduhai, seandainya beliau meneliti ulang lagi sanad hadits ini dan mengikuti jejak para ulama ahli hadits yang mengimani setiap hadits shahih, tidak memberatkan diri terhadap sesuatu yang di luar kapasitas akal mereka serta mengartikan maknanya sesuai zhahirnya, niscaya beliau akan selamat dari keruwetan yang beliau gambarkan.
- Terus terang, sebenarnya penulis yang lemah ini merasa wibawa untuk mengomentari ucapan beliau. Bagaimana tidak, karena dia sekarang tidak berhadapan dengan para ahli bid`ah seperti biasanya, tetapi dengan seorang yang dikenal berjasa banyak dalam membela dan menghidupkan ilmu-ilmu Islam di masanya([9]). Sedangkan penulis hanyalah seorang penuntut ilmu kecil yang baru belajar kemarin sore. Namun bagaimanapun juga kebenaran tetaplah kebenaran yang harus kita junjung tinggi dan kesalahan tetaplah kesalahan yang harus kita luruskan dengan adab Islami. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Qayyim: “Syaikhul Islam (al-Harawi) sangat kami cintai, tetapi al-haq lebih kami cintai.”([10])
- Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata, “Adapun menjelaskan ketergelinciran seorang ulama sebelumnya, apabila dengan adab yang bagus maka tidak tercela….” Lanjutnya, “Apabila tujuan si pengkritik adalah menjelaskan al-haq agar manusia tidak tertipu dengan ketergelinciran seorang alim tersebut, maka tidak ragu lagi bahwa dia berpahala dan perbuatannya termasuk nasehat untuk Alloh, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin, baik si pengkritik tersebut kecil maupun besar.” [11]
- Sengaja, penulis memberi muqaddimah ini sebelum memasuki tanggapan agar tidak ada nantinya seorang yang salah paham sehingga menilai kritikan ini sebagai hujatan dan celaan terhadap Syaikh Rasyid Ridha. Jadi, tanggapan kami terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tidak lain kecuali untuk menampakkan kebenaran dan meluruskan ketergelinciran. Wa-Allohu a`lam.
Adapun kritikan beliau tentang sanad hadits ini
dengan alasan bahwa Ibrahim bin Yazid at-Taimi adalah seorang mudallis dan tidak bertemu dengan Abu
Dzar, maka ini adalah ketergelinciran beliau, sebab hadits ini bersambung
sanadnya dan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah (terpercaya). Adapun
perinciannya sebagai berikut:
a. Sanad hadits ini bukan seperti yang beliau
katakan, yaitu Ibrahim bin Yazid at-Taimi dari Abu Dzar, tetapi yang benar
-sebagaimana dalam Bukhari-Muslim dll- adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi
dari ayahnya dari Abu
Dzar.
- Ayah Ibrahim adalah Yazid bin Syarik at-Taimi, dia meriwayatkan dari Umar, Ali, Abu Dzar, Ibnu Mas`ud dan para sahabat lainnya. Dan meriwayatkan darinya anak beliau sendiri (Ibrahim bin Yazid), Ibrahim an-Nakha’i, dan selainnya. Beliau dinilai tsiqah oleh Ibnu Ma`in, Ibnu Hibban, Ibnu Sa`ad, dan Ibnu Hajar. Abu Musa al-Madini berkata, “Dikatakan: Yazid mendapati masa jahiliyah.”[12]
b. Ibrahim bin
Yazid telah menegaskan bahwa dia mendengar dari
ayahnya, sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim:
… حَدَّثَنَا يُوْنُسُ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ يَزِيْدَ التَّيْمِيِّ سَمِعَهُ فِيْمَا أَعْلَمُ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ
Sedangkan telah mapan dalam disiplin ilmu
hadits bahwa seorang rawi yang tsiqah -atau bahkan mudallis sekalipun -apabila
telah menegaskan “mendengar” maka riwayatnya diterima.
Walhasil, hadits ini adalah shahih tiada cacat
di dalamnya. Oleh karena itu, para ulama ahli hadits
menerimanya dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang
mempermasalahkannya.
2. Matan
Syaikh Abu Rayyah
juga berkata, “Di antara hadits yang sangat sulit dimengerti karena menyelisihi
kenyataan adalah seperti hadits Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dan selainnya
tentang keberadaan matahari setelah terbenam.” [14]
Demikian beliau berdua menilai bahwa hadits ini
mengandung keruwetan dan sulit dimengerti oleh akal orang. Lantas manakah sudut
yang dipermasalahan?! Wa-Allohu a`lam, hal itu tidak mereka ungkapkan secara jelas, sekalipun menurut
hemat penulis kejanggalan mereka terhadap hadits ini kembali kepada dua titik
permasalahan -yang kalau boleh saya gambarkan dengan bahasa saya adalah- sebagai
berikut:
1. Bagaimana mungkin matahari sujud?! Bagaimana
sifat sujudnya?! Kalau memang sujud, mengapa tetap berjalan sesuai waktu tanpa
pernah terlambat sedikit pun?!
2. Bagaimana dikatakan matahari sujud di bawah
Arsy padahal kita lihat dengan mata kepala bahwa dia tetap di bawah
langit?!
Jawaban:
Sebelum kita memasuki jawaban dua permasalahan
di atas, perlu kita ingat kembali bahwa kewajiban kita terhadap hadits yang
shahih adalah mengimani dan membenarkannya dengan tiada keraguan di dalamnya.
Inilah kewajiban dan adab kita terhadap sunnah Nabi Muhammad([15]). Alangkah bagusnya cerita al-Hafizh
Ibnul Qayyim, “Pada suatu hari saya pernah berdialog dengan salah seorang
pembesar mereka, saya bertanya kepadanya, ‘Andaikan saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di
tengah-tengah kita, lalu beliau mengucapkan suatu ucapan kepada kita, apakah
wajib bagi kita untuk mengikutinya tanpa harus melirik kepada pendapat, ucapan
maupun madzhab orang lain? Ataukah kita tidak wajib membenarkannya sehingga kita
timbang terlebih dahulu dengan pendapat dan akal manusia?!’ Dia menjawab, ‘Ya
jelas harus membenarkannya tanpa melirik kepada selainnya.’ Saya bertanya lagi,
‘Lantas apa yang menghapus kewajiban ini dari kita dan dengan apa kewajiban
tersebut dihapus?’ Akhirnya dia meletakkan jari-jemarinya ke mulut kebingungan
dan tidak berkata satu kata pun.” [16]
Adapun penjelasan dan jawaban secara
terperinci, maka marilah kita baca bersama keterangan dan komentar ulama
tentangnya sebagai berikut. Semoga Alloh memudahkan kita untuk
memahaminya.
1. Sujudnya Matahari
- Ibnul Arabi berkata, “Ada suatu kaum yang mengingkari sujudnya matahari padahal hal itu adalah shahih dan mungkin saja.”[17]
Sungguh mengherankan!! Bagaimana mereka
mengingkari sujudnya matahari? Tidakkah mereka membaca firman Alloh (yang
artinya):
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada
Alloh bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang,
gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar
daripada manusia
(QS.Al-Hajj:18)
Mungkin timbul pertanyaan: Kalau matahari
sujud, lantas bagaimana sujudnya?
- Imam Nawawi berkata, “Adapun sujudnya matahari, maka hal itu dengan perbedaan yang diciptakan Alloh baginya.” [18]
- Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Setiap makhluk sujud karena keagungan Alloh baik suka maupun terpaksa. Dan sujudnya segala sesuatu itu berbeda-beda sesuai dengan pribadinya masing-masing.” [19]
- Al-Kaththabi berkata, “Dalam hadits ini terdapat informasi bahwa matahari sujud di bawah Arsy. Hal itu tidak mustahil bisa terjadi ketika dia melewati Arsy dalam peredarannya.”[20]
- Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Seluruh makhluk bersujud dan bertasbih kepada Alloh dengan tasbih dan sujud yang diketahui Alloh sekalipun kita tidak mengerti dan mengetahuinya.” [21]
- Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, “Hadits ini menunjukkan bahwa makna (لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا) adalah tempat peredaran, karena dia sujud di bawah Arsy. Kita tidak mengetahui bagaimana sifat sujudnya, sebab matahari tidak sama seperti manusia sehingga sujudnya bisa disetarakan dengan sujudnya manusia, bahkan dia adalah makhluk yang lebih besar. Oleh karena itu, janganlah muncul pertanyaan kepada kita: Apakah matahari sujud sambil berjalan ataukah berhenti dahulu? Bagaimana matahari sujud dan meminta izin kepada Alloh sedangkan dia terus berjalan dalam orbitnya?!!” [22]
- Syaikh Abdur Rahman al-Mu`allimi berkata, “Bagaimanapun sifat sujudnya matahari, yang penting hal itu menunjukkan kepada kita akan kepasrahan dan ketundukannya yang sempurna terhadap perintah Rabbnya selama-lamanya. Barangkali saja tenggelamnya matahari ke arah bawah seperti dalam pandangan mata kita itu yang dimaksud dengan sujudnya matahari.” [23]
Walhasil, kita harus beriman bahwa matahari itu
sujud kepada Alloh, sedangkan bagaimana sifat sujudnya maka hal itu di luar
kapasitas akal kita. Masalah ini mirip sekali dengan apa yang telah Alloh
firmankan dalam kitab-Nya (yang artinya):
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Alloh. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
(QS.Al-Isra’:44)
2. Sujud di bawah Arsy
Al-Kaththabi berkata
tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ‘Tempat peredarannya adalah di bawah Arsy’,
“Kita tidak memungkiri bila matahari memiliki tempat peredaran di bawah Arsy
yang tidak kita jangkau dan saksikan. Kita hanya dikhabarkan tentang sesuatu
yang ghaib, maka kita tidak mendustakannya dan membagaimanakannya, karena
keilmuan kita terbatas dan tidak menjangkaunya.” [24]
Ibnul Jauzi berkata:
“Mungkin masalah dalam hadits ini dianggap rumit oleh orang yang tidak
membidangi ilmu seraya berkomentar: “Kita melihatnya terbenam ke bumi dan
Al-Qur’an mengabarkan bahwa matahari terbenam dalam laut yang berlumpur hitam
(al-Kahfi: 86). Jadi kalau dia berputar di bawah bumi dan naik, lantas kapan dia
berada di bawah arsy?! Jawabnya: Sesungguhnya langit yang tujuh seperti poros
penggilingan, demikian pula Arsy karena besarnya dia seerti penggilingan, dimana
saja matahari sujud maka dia sujud di bawah arsy. Itulah tempat
peredarannya”.[25]
Syaikh Dr. Abdullah Al-Ghunaiman berkata, “Sujudnya matahari di bawah Arsy tidaklah berarti dia
keluar dari orbitnya atau ketinggalan dalam peredarannya ke bumi, bahkan dia
selalu muncul ke suatu bagian dari bumi, sedangkan waktunya bagi penduduk bumi
berbeda-beda menurut peredarannya.
Dan sebagaimana dimaklumi bahwa pergantian
malam dan siang sangat berkaitan erat dengan peredarannya. Oleh karenanya,
mungkin timbul pertanyaan: Di manakah letak sujudnya di bawah Arsy? Kapan hal
itu terjadi, padahal dia selalu berjalan? Jarak jauhnya dari bumi juga tidak
pernah berubah suatu waktu pun, sebagaimana peredarannya juga tidak pernah
berubah seperti yang kita saksikan sendiri.
Jawabannya adalah:
Matahari sujud setiap malam di bawah Arsy sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi n/
yang jujur. Dia juga selalu muncul pada bagian dari bumi, dan dia juga selalu
berjalan dalam orbitnya di bawah Arsy siang dan malam. Bahkan setiap makhluk pun
berada di bawah Arsy, tetapi dalam waktu dan tempat tertentu dia sujud yang
tidak diketahui makhluk tetapi diketahui berdasarkan wahyu. Sujud tersebut
adalah hakiki sesuai dengan zhahir nash. Adapun beredar, maka hal itu tidak
pernah lepas darinya selama-lamanya. Wa-Allohu
a`lam.”
Lanjut beliau, “Perbedaan peredaran matahari
itu hanyalah bagi yang berada di bumi, artinya dia terbit di tempat tertentu dan
terbenam di tempat tertentu, padahal dalam peredarannya di orbitnya tidak ada
perbedaan ini. Jadi sujudnya matahari tidaklah berbeda dengan perbedaan malam
dan siang, karena perbedaan ini hanyalah bagi yang berada di bumi, adapun
sujudnya di tempat dan waktu tertentu tidaklah berbeda.”[26]
FIQIH HADITS
Hadits ini menyimpan beberapa faedah yang cukup
banyak, di antaranya:
1. Bagusnya cara pengajaran Nabi, yaitu dengan melontarkan sebuah pertanyaan kepada para sahabatnya.
Cara seperti ini seringkali beliau praktekkan dalam banyak hadits. Tidak
diragukan lagi bahwa sistem pengajaran seperti ini sangat bermanfaat sekali
dalam pematangan ilmu dan ketetapannya dalam akal pikiran, sebab seorang yang
ditanya akan merasa penasaran untuk mengetahui jawabannya, sehingga ketika
jawaban datang kepadanya sedang dia dalam kondisi penasaran dan haus mencari
jawaban, tak ragu lagi bahwa hal itu akan lebih terekam dalam hatinya.[27]
Faedah ini hendaklah diperhatikan oleh kita
semua, khususnya para ustadz dan para da`i dalam mentransfer ilmu kepada orang
lain. Janganlah dia menyampaikan secara hamparan begitu saja, karena hal ini
akan lebih mudah hilang dari ingatan, tetapi hendaknya seorang guru untuk
berusaha menggunakan cara-cara agar ilmu yang dia sampaikan bisa menetap dalam
hati, baik dengan soal-jawab, muraja`ah, diskusi, dan lain sebagainya.
2. Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas
bahwa matahari mengelilingi bumi, bukan malah sebaliknya, bumi mengelilingi
matahari[28]. Segi pendalilannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandarkan
“pergi” kepada matahari, bukan bumi, sedangkan kita yakin seyakin-yakinnya bahwa
Alloh lebih mengetahui daripada makhluk-Nya. Dan kita tidak mungkin bergeser
meninggalkan dalil yang jelas hanya karena teori-teori manusia yang tidak
didasari dengan asas yang meyakinkan.
Perlu diketahui bahwa dalil-dalil tentang
masalah ini (matahari mengelilingi bumi) sangat banyak([29]), maka akankah kita mengatakan bahwa bumi
yang mengelilingi matahari, sebagaimana yang banyak beredar pada zaman ini?!
Tidak, sebelum betul-betul kita menemukan dalil dan bukti jelas yang dapat kita
jadikan hujjah di hadapan Alloh. Dan hal itu sampai detik ini belum kita dapati,
maka kita harus kokoh menetapkan dalil sesuai zhahirnya dan tidak bergeser
darinya.[30]
Sungguh amat mengherankan dan tidak diterima
oleh akal sehat, bagaimana kita (umat Islam) mengenal tanda-tanda kekuasaan
Alloh dari orang-orang yang tidak mengenal Alloh (baca: orang kafir)?! Apakah
orang-orang kafir barat itu lebih tahu tentang cara mengenal kekuasaan Alloh
daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya? Apakah Alloh dan Rasul-Nya
tidak pernah menjelaskan masalah ini kepada kita? Sungguh benar ucapan
penyair:
وَمَنْ يَكُنِ الْغُرَابُ لَهُ دَلِيْلاً
يَمُرُّ بِهِ عَلِى جِيَفِ الْكِلاَبِ
Barangsiapa yang penunjuk jalannya adalah
burung gagak
Maka dia akan mengantarkannya ke
bangkai-bangkai anjing
Perlu kami tegaskan di sini bahwa setiap dalil
-baik dari ayat maupun hadits- yang digunakan landasan untuk menguatkan pendapat
“bumi mengelilingi matahari” adalah penafsiran dan pemahaman yang tidak benar,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdul Karim bin
Shalih al-Humaid dalam risalahnya Hidayah al-Hairan fi Mas’alah ad-Dauran
hal.18.
وَكَمْ مِنْ عَائِبٍ قَوْلاً صَحِيْحًا
وَآفَتُهُ مِنَ الْفَهْمِ السَّقِيْمِ
Betapa banyak pencela ucapan yang
benar
Sisi cacatnya adalah pemahaman yang
dangkal[31]
Di antara dalil yang sering dijadikan landasan
adalah firman Alloh (yang artinya):
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka
dia tetap di tempatnya padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan.
(QS.An-Naml:88)
Syaikh Ibnu Utsaimin
berkata, “Sebagian orang berkata bahwa ayat ini menunjukkan, bumi mengelilingi
matahari. Penafsiran ini keliru dan berkata atas Alloh tanpa dasar ilmu, karena
konteks ayat di atas tidak menunjukkan hal itu, coba perhatikan secara
sempurna:
“Dan (ingatlah) hari
(ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala yang di bumi, kecuali siapa
yang dikehendaki Alloh. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan
diri. Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya
padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Alloh yang
membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu, sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh
(balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang
aman tentram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu.”
(QS.An-Naml:87-89)
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa
kejadian tersebut adalah ketika hari kiamat.”[32]
3. Terbitnya matahari dari barat adalah salah
satu tanda besar dekatnya hari kiamat.
Hadits ini merupakan di antara salah satu
hadits yang banyak sekali, bahkan berderajat mutawatir([33]) bahwa terbitnya matahari adalah salah
satu tanda dekatnya kiamat. Maka hal ini wajib diimani oleh setiap muslim yang
mengaku Alloh sebagai Rabbnya, Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah nabinya, dan Islam adalah
agamanya. Anehnya, sebagian kalangan masih ada yang meragukan aqidah
ini([34]). Wa-Allohul
Musta`an.
4. Sunnah merupakan penjelas
Al-Qur’an.
Hadits bisa dijadikan contoh yang bagus tentang
kedudukan Sunnah/hadits sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu:
a. Surat Yasin:38
Dan matahari berjalan di tempat
peredarannya. Sebagaimana penjelasan di muka. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 6/576)
b. Surat Al-An`am:158
“Pada hari datangnya
sebagian tanda-tanda Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seorang bagi dirinya
sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia belum mengusahakan kebaikan
pada masanya.”
Maksud “sebagian tanda-tanda Rabbmu” adalah
terbitnya matahari dari arah barat, sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits.
Ini juga dikuatkan oleh para ulama ahli tafsir.
Imam ath-Thabari
berkata, “Pendapat yang paling benar tentangnya adalah apa yang ditunjukkan oleh
banyak hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa hal itu adalah ketika matahari terbit dari
arah barat.”[35].
Al-Allamah asy-Syaukani juga berkata, “Apabila telah tetap penfasiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jalan
yang shahih ini, maka dia harus didahulukan.” [36]
5. Matahari merupakan tanda kekuasaan
Alloh.
Alloh berfirman (yang artinya):
“Dan sebagian
tanda-tanda kekuasan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan”
(QS.Fushshilat:37)
Perhatikanlah bagaimana dia berjalan secara
teratur tanpa maju ataupun mundur sedikit pun sejak awal penciptaannya hingga
kelak jika Alloh hendak menghancurkan dunia. Demikian pula bentuknya yang begitu
besar dan manfaatnya yang begitu banyak bagi kehidupan makhluk di bumi, baik
bagi tubuh, pohon, sungai, lautan, dan lain sebagainya. Belum lagi sinarnya yang
menyinari dunia sehingga manusia tidak membutuhkan listrik. Dan masih banyak
lagi lainnya[37].
Oleh karena itu saya mengajak saudara-saudaraku
untuk merenungi tanda-tanda kekuasaan Alloh yang ada di sekitar kita, baik
langit, bumi, lautan, matahari, rembulan, malam, siang, dan sebagainya sehingga
dapat menambah keimanan kita kepada Alloh.
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang
itu dan pada apa yang diciptakan Alloh di langit dan di bumi, benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertaqwa.“
(QS.Yunus:6)
Akhirnya, kita berdo`a kepada Alloh agar
memberikan taufiq dan meneguhkan kita semua. Aamiin.
footnote

([1]) Syaikh As-Sa`di
berkata dalam Tafsirnya
hal.736, “Alloh menyebutkan dalam ayat ini hak-Nya dan hak Rasul-Nya secara
bersamaan yaitu keharusan beriman kepada keduanya. Hak yang khusus bagi Nabi n/
yaitu menghormati dan mengagungkannya. Adapun hak yang khusus bagi Alloh yaitu
bertasbih dan menyucikan-Nya dengan melaksanakan shalat dan ibadah
lainnya.”
[2] Huquq Da`at Ilaiha Fithrah hal.5, Syaikh Ibnu Utsaimin.
[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Yasin:38 dan Silsilah
ash-Shahihah 2403, Al-Albani.
([4]) Sebagai amanat
ilmiah, saya sampaikan bahwa gerbang pembuka bahasan ini adalah kitab
Asyrath as-Saa`ah oleh Syaikh
Yusuf bin Abdillah Al-Wabil. 393-397. Dahulu pernah dikatakan, “Diantara
keberkahan ilmu adalah menyandarkannya kepada ahlinya.” (Lihat Bustanul Arifin hal.29, Imam
Nawawi)
[5] Ihya’ Ulumuddin 4/8
([6]) `An`anah adalah periwayatan hadits dengan
lafazh `an (عَنْ) artinya ‘dari’.
([7]) Lihat
keterangan batilnya kemungkinan ini dalam Zhulumat Abu
Rayyah hal.286-287 oleh Syaikh Muhammad Abdur Razzaq
Hamzah.
[8] Tafsir al-Manar
8/211-212, cet.kedua, Darul Ma`rifah, Beirut
([9]) Sekalipun harus
diakui bahwa beliau memiliki beberapa ketergelinciran dalam aqidah. (Lihat
Manhaj Madrasah al-Aqliyyah al-Hadtsisah fi
Tafsir hal.187-192 oleh Fahd ar-Rumi, dan Manhaj Rasyid Ridha fil Aqidah oleh Tamir
Muhammad Mahmud)
([10]) Madarij Salikin 2/38. Di akhir-akhir
menulis makalah ini, saya menemukan ucapan Syaikh Abdur Rahman Hamzah yang
persis dengan perkataan di atas. Dalam Zhulumat Abu
Rayyah hal.237 beliau berkata, “Aku termasuk murid
Sayyid Rasyid Ridha dan mengambil manfaat banyak darinya. Aku bersyukur kepada
Alloh kemudian berterima kasih pada guruku, namun hal itu tidaklah mencegahku
untuk menyelisihinya dalam masalah yang al-haq nampak bagiku, sebagaimana pernah
dikatakan seorang bijak bahwa dia mencintai gurunya tetapi kebenaran lebih ia
cintai darinya.”
[11] Al-Farqu baina an-Nashihah wa Ta’yir hal.
11
[12] Lihat Tahdzibut Tahdzib Ibnu Hajar 11/337
[13] Tafsir al-Manar
8/211
[14] Adhwa’ `ala as-Sunnah
an-Nabawiyyah hal.338
([15]) Banyak di
antara manusia beranggapan bahwa “adab” hanyalah terbatas pada hubungan antara
sesama manusia. Sungguh ini adalah penyempitan makna, karena adab mempunyai
ruang lingkup yang luas, meliputi adab terhadap Alloh, Rasul-Nya, dan sesama
manusia. (Lihat Madarijus Salikin 2/391, Ibnul Qayyim dan Makarimul Akhlaq
hal. 13, Ibnu Utsaimin.
[16] Madarij Salikin 2/404
[17] Fathul Bari 6/299
[18] Syarh Shahih Muslim 2/197
[19] Tafsir Al-Qur’an al-Azhim 5/398
[20] Syarh Sunnah
15/95-96, al-Baghawi
[21] Majmu` Fatawa wa Maqalat 8/295
[22] Tafsir Surat Yasin hal.137
[23] Al-Anwar al-Kasyifah hal.294
[24] Syarh Sunnah
15/95-96, al-Baghawi
[25] Kasyful Musykil an Hadits
Shahihain 1/359.
[26] Syarh Kitab Tauhid min Shahih
Bukhari 1/212, Bayan Talbis
Jahmiyyah Ibnu Taimiyyah 2/228
[27] Syarh Kitab Tauhid 1/408, Syaikh Dr. Abdullah al-Ghunaiman
[28] Fathul Bari
6/299, Ibnu Hajar
([29]) Dalam kitab
ash-Shawa’iq asy-Syadidah ‘ala Atba’ Haiah
Jadidah oleh Syaikh Humud at-Tuwaijiri dan Al-Maurid Zilal fi Tanbih `ala Akhtha’ Zhilal 1/251-276 Syaikh Muhammad ad-Duwais disebutkan 25 dalil ayat
Al-Qur’an, 16 hadits dan ijma` ulama. (Lihat juga masalah ini dalam Majmu` Fatawa Ibnu Utsaimin 1/72-75,
Hidayah al-Hairan fi Mas’alah ad-Dauran oleh Syaikh Abdul Karim al-Humaid, Matahari Mengelilingi Bumi Bantahan Terhadap Barat
Kafir oleh Surkan H.J. Saniman, Matahari Mengelilingi Bumi oleh akhuna wa ustadzuna Ahmad Sabiq
Abu Yusuf).
[30] Lihat Syarh Arba`in Nawawiyah hal.289, Tafsir Surat Yasin hal.139, Tafsir Surat
Al-Kahfi hal.32 oleh Syaikh Muhammad bin
Utsaimin.
[31] Diwan al-Mutanabbi hal. 232
[32] Tafsir Surat Al-Kahfi hal.81
([33]) Sebagaimana
dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Nihayah
Bidayah 1/144, al-Kattani dalam Nazhmul Mutanatsir hal.241dan Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu`
Fatawanya 8/295.
([34]) Termasuk di
antaranya Syaikh Rasyid Ridha dalam Tafsir
al-Manar 8/211. “Apabila demikian sikap mereka terhadap
hadits mutawatir, lantas bagaimana kiranya bila haditsnya tidak sampai derajat
mutawatir?! Oleh karena itu tak aneh bila Syaikh Muhammad Abduh tidak percaya
terhadap hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman yang termuat dalam kitab-kitab
shahih kecuali sedikit sekali, sebagaimana dikatakan muridnya Rasyid Ridha dalam
al-Manar 9/466.”
(Manhaj Madrasah Aqliyyah al-Hadtsitsah fi
Tafsir hal.524)
[35] Jami`ul Bayan
8/103
[36] Fathul Qadir
2/182
[37] Syarh Tsalatsah Ushul hal.48, Ibnu Utsaimin
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula