MUTIARA
KHUTBATUL HAJAH
A. Pengantar
Tahukah anda faktor apakah yang mendorong
sahabat mulia Dhimad al-Azdi
untuk memeluk agama Islam?! Dia mengucapkan syahadat masuk Islam usai mendengar
Nabi membacakan khutbah hajat kepadanya, lalu dia berkomentar:
“Aku telah mendengar ucapan para dukun, para
penyihir dan para penyair. Namun saya belum pernah mendengar kata-kata engkau
tersebut. Sungguh, kata-kata itu telah sampai ke dasar lautan (karena kedalaman
makna yang dikandungnya -pent)”.
(Muslim: 868)
Ya, demikianlah pengaruh dahsyat khutbah hajat
bagi orang-orang yang memahaminya. Bagaimana tidak, bagi orang yang merenungi
isi kandungan khutbah ini secara sekilas, maka akan nampak jelas baginya bahwa
khutbah ini merupakah “ikatan undang undang Islam dan Iman”.[1] Lantas apakah isi kandungannya?!
1. Pujian kepada Dzat Pencipta Alam.
2. Ibadah seorang hamba dan kebutuhannya kepada
Allah serta permintaannya kepada Allah dalam segala urusannya.
3. Persaksian bahwa tidak ada yang berhak
diibadahi kecuali Allah saja dan tidak ada rasul yang diikuti kecuali
Rasulullah[2].
4. Agungnya kedudukan al-Qur’an dan Sunnah,
yang dikatakan oleh Nabi:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتٍيْتُ الْقُرْاَنَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ
5. Bahaya perkara bid’ah dalam agama dan semua
bid’ah adalah sesat yang menjerumuskan pelakunya ke neraka.
Masalah ini semakin bertambah sangat jelas bila
kita ingat apabila khutbah ini sering diulang-ulang dan ditekankan. Hal yang
menunjukkan tingginya kedudukannya dan pentingnya isi kandungannya[4].
.
B. Tujuan Penulisan
Hati ini terdorong untuk menulis masalah ini
dengan dua tujuan inti:
- Pertama: Menghidupkan dan menyebarkan sunnah khutbah hajat ini.
- Kedua: Memahami isi kandungan khutbah hajat yang penuh dengan mutiara-mutiara hikmah.
Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan kita
termasuk hamba-hamba yang menghidupakn sunnah Nabi-Nya dan memahami makna
kandungannya. Amiin.
.
B. TEKS KHUTBAH HAJAT
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ,
وَنَسْتَعِينُهُ,
وَنَسْتَغْفِرُهُ,
وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ
شُرُورِ أَنْفُسِنَا,
وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ,
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً
سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ,
وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي
النَّارِ.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya,
memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari
kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang
Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menye-satkannya, dan barangsiapa
yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu
bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan sebenar-bena r takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS.
Ali ‘Imran: 102)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya, dan dari-pada keduanya Allah memperkembang-biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan menga-wasimu.”
(QS. An-Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 70-71)
Amma ba’du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah
Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
(as-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam
agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah
adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
.
C. TAKHRIJ HADITS[5]
Ketahuilah wahai sauadaraku -semoga Allah
memberkahimu- bahwa khutbah berbarokah ini diriwayatkan dari enam sahabat, yaitu
Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Jabir bin
Abdullah, Nubaith bin Syarith dan Aisyah, serta seorang tabi’in yaitu
Zuhri.
Pertama: Riwayat Abdullah bin
Mas’ud
Ada empat jalur dari beliau:
1. Abu Ubaidah
Diriwayatkan Abu Dawud 1/331, Nasa’i 1/208,
al-Hakim 2/182, 183, ath-Thoyyalisi 338, Ahmad 3720, 4115, Abu Ya’la 1/342,
al-Baihaqi 7/146.
- Sanad hadits ini seluruh perawinya terpercaya, hanya saja terputus, sebab Abu Ubaidah tidak mendengar dari ayahnya (Ibnu Mas’ud).
2. Abul Ahwash
Diriwayatkan Nasa’i 2/29, Tirmidzi 2/178, Ibnu
Majah 1/584, 585, ath-Thohawi 1/4, al-Baihaqi 3/214.
- Sanad hadits ini shohih menurut syarat Muslim. Tirimidzi berkata: “Hadits hasan“.
3. Abu ‘Iyadh
Diriwayatkan Abu Dawud 1/172, 331, al-Baihaqi
3/215, 7/146.
- Sanad ini lemah, sebab Abu Iyadh adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).
4. Syaqiq
Diriwayatkan al-Baihaqi 7/146, 147
- Sanad ini lemah, karena di dalamnya terdapat Huraits al-Fazari, dia seorang yang lemah haditsnya.
Kedua: Riwayat Abu Musa al-Asy’ari
Diriwayatkan Abu Ya’la 1/342. Al-Haitsami
membawakan dalam Majma’ Zawaid 4/288 dan berkata: “Diriwayatkan Abu Ya’la dan ath-Thobarani dalam
al-Ausath dan al-Kabir secara ringkas.
- Seluruh perawinya terpercaya. Dan hadits Abu Musa sanadnya bersambung“.
Ketiga: Riwayat Abdullah bin Abbas
Diriwayatkan Muslim 3/12, al-Baihaqi, Ahmad
3275, Ibnu Majah 1/585 dan ath-Thohawi.
- Sanad hadits ini shohih.
Keempat: Riwayat Jabir bin Abdillah
Diriwayatkan Muslim 3/11, Ahmad 3/371,
al-Baihaqi 3/214.
- Sanad hadits shohih sesuai syarat Muslim.
Kelima: Riwayat Nubaith bin Syarith
Diriwayatkan al-Baihaqi 3/215.
- Sanad ini seluruh perawinya terpercaya kecuali Musa bin Muhammad al-Anshari.
Keenam: Riwayat Aisyah
Diriwayatkan Abu Bakar bin Abu Dawud dalam
Musnad Aisyah 2/57.
- Sanadnya jayyid (bagus).
Ketujuh: Riwayat Sahl bin Sa’ad
Dikeluarkan Simmawaih dalam Fawaid-nya sebagaimana dalam Husnu Tanabbuh fi Tarki Tasyabbuh karya
Syaikh Muhammad al-Ghozzi 5/8.
.
Kedelapan: Riwayat Zuhri
Diriwayatkan Abu Dawud 1/172, al-Baihaqi
3/215.
- Sanad hadits ini seluruh rawinya terercaya, hanya saja dia mursal. Oleh karena itu, dia termasuk hadits lemah dan tidak bisa dijadkan hujjah.
.
D. SYUBHAT DA JAWABAN[6]
Sebagian kalangan mengatakan bahwa khutbah
hajat ini hanyalah untuk akad pernikahan saja, bukan untuk segala hajat seperti
khutbah jum’at, pengajian, tulisan dan sebagainya. Oleh karenanya, para ulama
salaf sejak dahulu hingga sekarang selalu meninggalkan khutbah hajat dalam
tulisan-tulisan mereka (!). Dan karenaya pula, para ulama ahli hadits
mencantumkan khutbah ini dalam kitab nikah. (lihat Majalah Markaz Buhuts Sunnah
was Siroh, tulisan Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, edisi 9, tahun 1417
H).
Jawaban:
1. Khutbah Hajat Khusus Dalam Akad
Nikah?!
Bagi pemerhati hadits-hadits di atas, akan
jelas baginya bahwa khutbah ini digunakan pada setiap khutbah, baik khutbah
nikah, khutbah jum’at dan sebagainya, bukan hanya khusus ketika akad pernikahan
saja sebagaimana anggapan sebagian orang. Lebih jelasnya, perhatikanlah riwayat
Abu Dawud dalam hadits Ibnu Mas’ud berikut:
عَلَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ
فِيْ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ: الْحَمْدَ لِلَّهِ…
Rasulullah mengajari kami khutbah hajat dalam
pernikahan dan selainnya.
Dalam hadits ini, sahabat Ibnu Mas’ud menyebutnya dengan “khutbah hajat” yang hal itu berarti
mencakup seluruh hajat dan kebutuhan yang
penting. Tidak ragu lagi bahwa buah karya dan tulisan
merupakan kebutuhan penting kaum muslimin. Lantas kenapa harus
dibeda-bedakan?!
Dan dalam riwayat lainnya:
عَلَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ التَّشَهُّدَ فِيْ
الصَّلاَةِ وَالتَّشَهُّدَ فِيْ الْحَاجَةِ
Rasulullah mengajari kami tasyahhud dalam
sholat dan tasyahhud dalam hajat.
Dalam riwayat ini, sahabat Ibnu Mas’ud
mengiringkan antara tasyahhud dalam sholat dengan tasyahhud dalam hajat.
Pengiringan ini menunjukkan tentang pentingnya dan populernya. Maka sebagaimana
tasyahhud sholat itu mencakup semua sholat baik sholat wajib maupun sholat
sunnah, maka demikian juga tasyahhud dalam hajat mencakup semua hajat baik
khutbah, muhadharah, kitab dan sebagainya.
Hal yang memperkuat keumuman disyariatkannya
khutbah ini dalam amal sholeh adalah hadits Ibnu Abbas riwayat Imam Muslim (868)
tentang kisah datangnya Dhimad ke Mekkah dan Nabi menyampaikan khutbah
berbarakah ini padanya lalu kemudian dia masuk Islam setelah mendengarnya,
padahal saat itu tidak ada akad pernikahan sama sekali[7]!!
2. Para ulama salaf bersepakat untuk
meninggalkannya dalam tulisan?
Anggapan ini tidak benar dan bertentangan
dengan kenyataan, karena para ulama salaf sendiri menyatakan tentang
disyariatkannya hal itu dalam tulisan juga. Berikut beberapa ucapan
mereka:
a. Imam ath-Thohawi
dalam muqaddimah kitabnya yang menakjubkan “Syarh
Musykil Atsar” 1/6-7:
“Saya memulainya dengan apa yang dianjurkan
oleh Rasululullah dalam membuka segala hajat, sebagaimana telah diriwayatkan
dari beliau beberapa hadits yang akan saya paparkan setelah ini insya Allah”.
Lalu beliau membawakan khutbah hajat dan hadits-haditsnya.
“Oleh karena itu, khutbah ini dianjurkan dan
dilakukan dalam pembicaraan dengan manusia baik secara umum maupun secara
khusus, berupa mengajarkan al-Qur’an dan sunnah berseta penjelasannya,
menasehati manusia, dan berdialog dengan mereka, hendaknya semua itu dibuka
dengan khutbah syar’iyyah nabawiyyah ini. Kami mendapati para ulama pada zaman
kami, mereka memulai pelajaran tafsir atau fiqih di masjid dan sekolah dengan
khutbah selainnya, sebagaimana saya juga mendapati suatu kaum yang membuka akad
pernikahan bukan dengan khutbah syar’iyyah ini, dan setiap kaum memiliki jenis
sendiri yang berbeda-beda.
Hal itu karena hadits Ibnu Mas’ud tidaklah
khusus berkaiatan tentang nikah, namun khutbah untuk setiap hajat dalam
berdialog antara sesama manusia. Dan nikah termasuk diantaranya, karena menjaga
perkara sunnah dalam ucapan dan perbuatan pada semua ibadah dan adat merupakan
jalan yang lurus. Adapun selainnya maka hal itu kurang, sebab sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad”. (Majmu’ Fatawa 18/287-288)
c. Al-Muhaqqiq as-Sindi berkata dalam Hasyiyah Nasa’i 3/105 mengomentari hadits Ibnu Mas’ud:
“Dhohir hadits ini mencakup keumuman hajat,
dalam pernikahan dan selainnya[9]. Hal ini diperkuat dengan sebagian riwayat. Maka hendaknya seorang
untuk mengamalkan khutbah ini dalam untuk kesempurnaan hajat/
kebutuhannya…”.
3. Para Ulama Ahli Hadits Mencantumkannya
Dalam Kitab Nikah Saja?!
Pembatasan inipun tidak benar, sebab banyak
juga diantara ahli hadits yang mencantumkannya pada selain kitab nikah,
diantaranya:
1. Imam
Muslim mencantumkannya dalam kitab jum’at
2. Imam
Baihaqi dalam Sunan Kubro mencantumkannya dalam kitab
jum’at
3. Imam
Nasa’i dalam Amalul Yaum wa Lailah membuat bab “Ucapan
yang dianjurkan ketika hajat”. Dalam sunannya beliau mencantumkan dalam sholat
i’edain dan juma’t.
4. Abu
Dawud dalam sunannya dan al-Marasil mencantumkannya
dalam kitab jum’at
Semua itu menunjukkan bahwa khutbah ini
mencakup umum dalam nikah, khutbah jum’at, khutbah ied, pelajaran, pengajian,
kitab dan selainnya. Wallahu A’lam.
E. MUTIARA KHUTBAH HAJAT
Sesungguhnya khutbah hajat ini menyimpan
mutiara-mutiara yang amat berharga bagi orang yang merenunginya. Oleh karenanya,
selayaknya bagi kita untuk menyelam guna menggapainya. Sungguh, betapa sering
kita mendengarnya! Betapa sering kita menyampaikannya! Tapi sudahkah kita
benar-benar memahaminya?!! Berikut ini saya mengajak saudara-saudara kami untuk
bersama-sama menggali sebagian mutiara tersebut, semoga bisa dijadikan sebagai
jembatan untuk meluaskan jalannya:
Nabi Muhammad selalu membuka khutbahnya dengan
al-hamdalah (memuji Allah). Tidak ada satu haditspun yang menunjukkan bahwa
beliau membukanya dalam khutbah hari raya maupun selainnya dengan takbir.
[11]
Adapun makna ( الْحَمْدُ ) adalah menyebut kebaikan yang
dipuji dengan kecintaan dan pengagungan[12]. Berbeda dengan kata ( الْمَدْحُ ) maksudnya adalah sekedar
pujian walaupun tanpa pengagungan dan kecintaan, seperti halnya pujian para
penyair kepada para pemimpin, yang biasanya hanya sekedar untuk meraup harta
dari mereka.[13]
Sedangkan (الْ) berfungsi istighroq yang bermakna bahwa semua dan
segala pujian hanya bagi Allah semata.[14]
Mengapa Allah berhak untuk dipuji?! Jawabannya:
karena kesempurnaan nama dan sifat-Nya dari segala segi. Demikian juga karena
banyaknya kenikmatan yang Dia berikan kepada kita semua.
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ
اللهِ
2. Meminta Pertolongan Kepada Allah dan
Memohon Ampunan Kepada Allah.
Hal itu karena seorang hamba diantara dua
hal:
Pertama: Perbuatan
Allah kepadanya berupa nikmat, maka hal ini membutuhkan pujian dan
syukur.
Kedua: Perbuatan
hamba sendiri, yang tidak lepas dari kebaikan yang membutuhkan kepada
pertolongan Allah dan kejelekan yang membutuhkan ampunan Allah. [16]
3. Bersandar Kepada Allah Dari Kejahatan Jiwa
Kita bersandar kepada Allah dari
kejahatan-kejahatan jiwa kita. Perhatikanlah wahai saudaraku, setelah kita
diajarkan untuk memohon maghfiroh[17] kepada Allah, setelah itu kita diajarkan
untuk bersandar kepada Allah dari dosa-dosa yang belum terjadi.
- Bila ada yang bertanya: Apakah jiwa memiki kejahatan?! Jawabnya: Ya, sebagaimana firman Allah:
وَمَآأُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ
لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan. (QS. Yusuf: 53)
Perlu diketahui bahwa kejahatan jiwa berputar pada dua perkara:
- Pertama: Ajakan kepada kemaksiatan.
- Kedua: Menghambat dari ketaatan.
Obat dua penyakit ini adalah kesempurnaan iman
kepada Allah dan merenungi akibat perbuatan sehingga dapat mengerem seseorang
dari lembah kemaksiatan. [18]
4. Berlindung dari Jeleknya Amal
Perbuatan
Amal hamba tidak terlepas dari tiga
macam:
- Pertama: Amal shalih
- Kedua: Amal tidak shalih (jelek)
- Ketiga: Amal tidak shalih dan tidak jelek (baca: mubah)
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa amal yang
jelek memiliki dampak negatif bagi pribadi dalam hati, lisan dan anggota
badannya. Salah seorang salaf pernah berkata:
“Apabila saya bermaksiat, maka saya dapat
mengetahui pengaruhnya pada kendaraan dan keluargaku”.
Kemaksian juga memiliki dampak negatif juga
bagi masyarakat dalam perekonomian dan keamanan mereka. Perhatikanlah bersamaku
firman Allah:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar). (QS. Ar-Ruum: 41) [19]
5. Hidayah dan Kesesatan Hanya Di Tangan
Allah
Yakni barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah
mendapat petunjuk maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya sekalipun
semua manusia sedunia dan dengan segala cara. Demikian juga sebaliknya, apabila
Allah mentakdirkan seseorang untuk tersesat maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk sekalipun dia seorang Nabi, karena hanya di tangan Allah-lah segala
urusan. Allah berfirman kepada Nabinya tatkala bersemangat untuk mengislmkan
paman kesayangannya, Abu Thalib:
إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. (QS. Al-Qoshos: 56)
- Hal ini memberikan kepada kita beberapa faedah:
a. Iman kepada takdir
b. Banyak berdoa kepada Allah agar menetapkan
kita di atas hidayah dan menjauhkan kita dari kesesatan karena semua itu ada di
tangan-Nya saja.
c. Tidak bersandar pada diri sendiri karena hal
itu akan mengantarkan kepada penyakit ujub (bangga diri).
d. Hiburan bagi para da’i apabila dakwahnya
tidak diterima agar dia tidak sedih dan gelisah apabila dia telah menunaikan
kewajiban dakwahnya.
6. Memahami Makna Syahadatain
Hal ini sangat penting sekali, karena inilah
kunci kebahagiaan dunia dan akherat. Makna saya[20] bersaksi yakni “saya yakin dan percaya dengan sepenuh hati seperti
saya menyaksikan sendiri dengan mata kepalaku”.
- Syahadat ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ) maksudnya adalah
Tidak ada sesembahan yang berhak untuk
diibadahi kecuali hanya Allah semata, sebagaimana tidak pencipta, pemberi rizki
dan pengatur alam selain Allah.
Dan perlu diketahui bahwa syahadat ini memiliki
dua rukun yang utama:
Pertama: Nafi
(peniadaan) yang terdapat pada kata “Tiada sesembahan” ( لاَ إِلَهَ ) dan dikuatkan dengan kata
“tiada sekutu bagi-Nya” (شَرِيْكَ لَهُ لاَ) untuk
membuang dan meniadakan semua sesembahan selain Allah siapapun dia, baik
malaikat atau nabi.
Kedua: Itsbat
(penetapan) yang terdapat pada kata “kecuali Allah” (إِلاَّ اللَّهُ ) dan dikuatkan dengan kata
“hanya Dia saja” (وَحْدَهُ )
untuk menetapkan bahwa hanya Allah semata yang berhak untuk diibadahi, bukan
selain-Nya.
- Adapun makna syahadat Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya adalah:
1. Mengerjakan semua perintahnya
2. Menjauhi segala larangannya
3. Membenarkan beritanya
4. Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan
syari’at yang dibawanya.
- Persaksian kita bahwa Muhammad adalah “hamba” berarti tidak boleh bagi kita untuk berlebihan kepadanya dan mengangkatnya di atas kedudukan yang telah diberikan Allah seperti meminta pertolongan kepada beliau setelah wafatnya atau mensifati beliau mengetahui ilmu ghoib secara mutlak dan lain sebagainya.
- Dan persaksian kita bahwa beliau adalah “rasul” berarti kita harus memuliakannya, membenarkan ucapannya dan tidak meremehkannya.
7. Taqwa dan Pembenahan Bathin
Hal ini dipetik dari kandungan tiga ayat yang
dibaca oleh Rasulullah, yang semuanya menganjurkan untuk taqwa dan pembenahan
bathin, karena memang taqwa merupakan kunci kebahagian dunia dan akherat dan
pembenahan hati berarti pembenahan anggota tubuh lainnya. Maka merupakan
kewajiban bagi kita semua untuk lebih memperhatikan masalah bathin daripada
hanya sekedar penampilan luar.
8. Sunnahnya Ucapan: Amma Ba’du (Adapun
setelah itu)
Hal ini juga merupakan sunnah Nabi yang sering
dilakukan oleh beliau. Imam Bukhari membuat bab dalam Shahihnya 1/292: “Bab:
Orang Yang Mengatakan: Amma Ba’du setelah memuji Allah dalam khutbah”. Sebagian
ahli hadits mengumpulkan riwayat-riwayat penyebutan
“Amma ba’du” sehingga mencapai tiga puluh dua sahabat.[21]
Kalimat “Amma
Ba’du” digunakan untuk:
Perpindahan dari pembukaan menuju tema
pembicaraan, bukan sebagimana dikatakan oleh sebagian ahli bahasa bahwa kata
tersebut untuk perpindahan dari uslub (gaya bahasa) ke uslub lainnya seperti
dari perintah ke uslub khabar atau sebaliknya[22].
Al-Hafizh Ibnu Rojab
menjelaskan:
“Tujuan memisah antara memuji Allah dengan
ucapan setelahnya adalah sindiran bahwa semua perkara dunia dan agama sekalipun
besarnya bagaimana, semua itu pada hakekatnya mengikuti pujian Allah”. [23]
9. Keunggulan Al-Qur’an
Kebaikan dan keunggulan Al-Qur’an mencakup
beberapa perkara berikut:
1. Kejujuran beritanya dan keadilan
hukumnya
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا
وَعَدْلاً
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an),
sebagai kalimat yang benar dan adil. (QS. Al-An’am:
115)
2. Kefasihan bahasanya. Oleh karena itu
menantang para sastra Arab untuk mendatangkan semisalnya!
3. Kedahsyatan pengaruhnya bagi pribadi secara
khusus berupa kesejukan hati bagi pembacanya dan manusia secara umum sehingga
betapa banyak negeri ditaklukkan dengannya!!.
10. Berpegang Teguh Dengan Petunjuk dan Jalan
Nabi Muhammad
Ketahuilah bahwa pada kata ( وَخَيْرَ الْهَُدَْيِ هَُدَْيُ مُحَمَّدٍ )
ada dua bacaan:
Pertama: (
الْهُدَى ) dengan mendhommah
ha’ dan menfathah dal bermakna petunjuk, lawan dari kesesatan.
Faedah dari ungkapan ini adalah anjuran bagi
kita untuk berpegang teguh dengan jalan dan petunjuk Nabi kita, baik dalam
ibadah maupun muamalat. Dan hal ini memiliki beberapa faedah,
diantaranya:
- Menjadikan Nabi kita sebagai suri tauladan
- Merasa tegar karena dia berpegang pada pegangan yang kuat
- Berusaha untuk berakhlak seperti akhlak Nabi
- Menjadi panutan di masyarakatnya
11. Bahaya Bid’ah Dalam Agama
Bid’ah adalah suatu jalan baru dalam
agama[25] yang menyerupai syari’at, dimana pelakunya melakukan hal itu dengan
tujuan mendekatkan diri kepada Allah.[26]
Maka, waspadalah saudarku dari perkara-perkara
baru dalam agama baik berupa ucapan, perbuatan, keyakinan yang menggeliat pada
zaman sekarang, karena semua itu sejelek-jelek perkara yang diperingatkan oleh
Nabi kita. Sungguh benar sabda tatkala mensifati bid’ah sebagi perkara yang
terjelek, karena konsekuansi bid’ah adalah sangat berat sekali,
diantaranya:
- Mendustakan kesempurnaan agama Islam, sehingga seakan-akan dia mengatakan bahwa agama Islam ini belum sempurna sehingga perlu ditambahi dengan bid’ah tersebut.
- Menuduh Nabi dengan dua sifat yang sama-sama pahitnya yaitu dengan “khianat” karena beliau menyembunyikan dan tidak menyampaikannya kepada umat, atau “jahil” karena Nabi tidak mengetahui apa yang diketahui oleh pelaku bid’ah tersebut.
- Menjadikan tandingan bagi Allah dalam membuat syari’at.
- Menyebabkan perpecahan dan pertikaian diantara umat.
- Mematikan sunnah Nabi.
12. Semua bid’ah sesat
Demikianlah sabda Nabi yang tegas, sekalipun
hal itu dianggap baik oleh kebanyakan manusia dan menamainya dengan bid’ah
hasanah!! Aduhai, dari manakah mereka mendapatkan wahyu pengecualian tersebut?!!
Bukankah ini berarti sebuah kritikan kepada hadits Nabi dan pengkhususan dari
keumuman tanpa dalil?!! Sekali lagi, janganlah engkau tertipu dengan label
“bid’ah hasanah” dalam agama karena istilah itu sendiri merupakan sebuah istilah
yang bid’ah!![27]
Demikianlah penjelasan secara ringkas.
Sebenarnya masih banyak dalam benak ini beberapa masalah yang ingin dituangkan,
tetapi semoga saja yang sedikit ini bisa bermanfaat dan berbarokah bagi diri
kami dan saudara-sauadara kami semua. Allahu A’lam.
disusun oleh:
Abu
Ubaidah Yusuf As-Sidawi
.
Catatan kaki:

[1] Majmu’ Fatawa14/223 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[2] Faedah: Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah berkata:
“Barangsiapa memperhatikan khutbah-khutbah nabi
dan para sahabatnya, niscaya dia akan mendapatinya penuh dengan penjelasan
petunjuk dan tauhid, sifat-sifat Allah, pokok-pokok keimanan, kebesaran nikmat
Allah, hari akhir, perintah mengingat dan bersyukur kepada Allah, sehingga
tatkala para pendengar keluar, maka mereka keluar dengan kecintaan kepada Allah,
berbeda dengan khutbah-khutbah zaman sekarang yang hanya indah penampilan
luarnya tetapi kosong dari tujuan utamanya!!”. (Zadul
Ma’ad 1/419-410 -secara ringkas-).
[3] HR. Abu Dawud 4604, al-Khathib dalam al-Faqih wal Mutafaqqih 1/89, Ibnu Nashr
dalam as-Sunnah 353 dan
lain-lain dengan sanad shohih.
[4] Lihat Ilmu
Ushul Bida’, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hal.
6-7
[5] Diringkas dari risalah “Khuthbah Hajat
Al-Lati Kaana Rasululullah Yu’allimuha Ashabahu” oleh
Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani, cet Maktabah Ma’arif.
[6] Lihat Dzail Khutbah Hajat “Al-Umdah fi
Raddi Syubuhat Abi Ghuddah” oleh Syaikh Salim bin I’ed
al-Hilali, cet Dar Tauhid, Mesir.
[7] Namun perlu ditegaskan juga di sini bahwa khutbah hajat hukumnya
sunnah, sehingga jangan ada anggapan bahwa kami mewajibkannya. Bahkan kalau
memang dikhawatirkan ada anggapan wajib, maka selayaknya untuk ditinggalkan
kadang-kadang agar tidak dianggap wajib. Wallahu A’lam.
[8] Syaikh al-Albani berkata:
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah diantara
ulama yang paling semangat dalam memulai risalah dan kitab-kitabnya dengan
khutbah ini. Hal itu merupakan diantara bukti-bukti kongkrit tentang kecintaan
beliau kepada Nabi dan sunnah beliau serta semangat beliau dalam
menghidupkannya”. (al-Ihtijaj bil Qodar hal. 3, Haqiqatus Shiyam hal. 9-10)
[9] Syaikh Ibnu Utsaimin juga menguatkan hal ini dalam Syarh Muqaddimah Tafsir hal. 5,
katanya:
“Khutbah ini disebut dengan khutbah hajat, yang
digunakan oleh seseorang tatkala hendak membicarakan tentang kebutuhannya, baik
pernikahan maupun keperluan lainnya yang berkaitan dengan agama dan dunia. Oleh
karena itu, dia disebut khutbah hajat”.
[10] Faedah: Khutbah
diambil dari kata “khotb” yaitu kesulitan atau urusan besar. Hal itu karena
orang-orang Arab dulu apabila tertimpa masalah besar maka mereka berpidato lalu
orang-orang berdatangan untuk berkumpul dan berfikir bersama untuk mencari
solusinya. (Kitab at-Ta’yin fi Syarhil
Arba’in ath-Thufi hal. 3)
[11] Zadul Ma’ad Ibnu
Qayyim 1/431.
[12] Majmu Fatawa
8/378.
[13] Bada’iul Fawaid
Ibnu Qayyim 2/536.
[14] Majmu Fatawa
1/89.
[15] Syarh Aqidah Wasithiyyah Ibnu Utsaimin 1/39.
[16] Majmu’ Fatawa 18/285
[17] Maghfirah adalah menutupi dosa di dunia dan mengampuninya di
akherat, diambil dari kata “mighfar” yaitu topeng besi yang biasa dipakai orang
perang untuk menutupi kepalanya dari senjata musuh. (al-Qaulul Mufid, Ibnu Utsaimin
2/330)
[18] Syarh Ushul min Ilmi Ushul Ibnu Utsaimin hal. 16
[19] Syarh Ushul fi Tafsir Ibnu Utsaimin hal. 9
[20] Perhatikanlah dalam syahadat digunakan dhomir mufrod/ tunggal yaitu
“aku” sedangkan sebelumnya dalam pujian, minta tolong dan ampunan digunakan
dhomir nahnu “kami”. Apakah
rahasia di balik itu?! Hal itu karena persaksian tidak bisa diwakilkan oleh
orang lain, berbeda dengan minta tolong dan minta ampunan. Hal lainnya karena
persaksian berarti menyampaikan isi hatinya karena dia tahu tentang dirinya
sendiri, berbeda dengan isi hati orang lain, dia tidak mengetahuinya. (Lihat
Tahdzib Sunan Ibnu Qayyim
3/54)
[21] Subulus Salam
ash-Shan’ani 2/136
[22] Syarh Nuzhatun Nadzar, Ibnu Utsaimin hal. 20
[23] Fathul Bari
5/484
[24] Syarh Muslim
Nawawi 6/154
[25] Adapun masalah-masalah dunia, maka tidak disebut bid’ah yang
tercela, seperti penemuan-penemuan modern yang tidak ada pada zaman Nabi.
Fahamilah hal ini baik-baik!!
[26] Al-I’tishom
asy-Syathibi 1/43, tahqiq Masyhur Hasan.
[27] Syaikh Salim al-Hilali telah menepis syubhat-syubhat para penganut
faham “bid’ah hasanah” dan meruntuhkannya satu persatu secara bagus dalam
risalahnya “Al-Bid’ah wa Atsaruha Sayyi’ fil
Ummah” hal. 207-247 -Jami’ Rosail-.
0 comments:
Post a Comment
Selalu indah dengan kata-kata yang indah pula